Pengertian Sumber hukum
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum
disebut source of law. Perkataan sumber hukum berbeda
dengan dasar hukum,landasan hukum ataupun payung hukum. Dasar hukum
adalah legal basis atau legal ground yaitu norma hukum yang
mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap
sah atau dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkan perkataan sumber hukum lebih
menunjuk kepada pengertian tempat darimana asalmuasal suatu nilai atau norma
tertentu berasal.[1]
Pengertian yang lain bahwa Sumber
Hukum
1.
segala apa yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang
kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
2.
segala sesuatu yang berupa tulisan,
dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman
hidupnya pada masa tertentu.[2]
Menurut para ahli :
Menurut Hans Kelsen source of law mengandung banyak pengertian.
Pertama,yang dapat dipahami sebagai source of law ada dua
yaitucustom dan statute. Olehkarena itu source of law biasa
dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation,
yaitu customary and statuary creation of law. Kedua, source of law
juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for
the validity of law. Ketiga, source of law dapat juga dipakai untuk
hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma, moral, etika, prinsip-prinsip
politik, ataupun pendapat para ahli, dansebagainya yang dapat mempengaruhi
pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hukum
atau the source of law.[3]
Menurut Prof. Soedikno ada beberapa arti sumber hukum: Sebagai asas hukum, Hukum
terdahulu yang memberi bahan, Dasar berlakunya, Tempat mengetahui hukum, Sebab
yang menimbulkan hukum.
Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber
yang menimbulkan hukum.[4]
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah,
segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang
bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi
yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor
yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah,
dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum, di mana
hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari
putusannya.
Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan
hukum.Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus
merupakan hukum, contohnya putusan hakim.
1.
Hukum Materiil
Menurut Sudikno Mertokusumo,Sumber
Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum
materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya
hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi
(pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi,
lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.
Menurut Utrecht adalah perasaan atau
keyakinan hokum individu dan masyarakat yang menjadi determinan materiil
membentuk hukum danmenentukan isi hukum.Faktor-faktor yang turut serta
menentukan isi hukum adalah faktor idiil dan faktor
kemasyarakatan.Sumber-sumber hukum materiil dapat ditinjaudari berbagai sudut
misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dansebagainya.
2.
Hukum
Formal (Formil)
Sumber hukum formal adalah sumber
hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat
masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat
cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum
positif, dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum
tersebut. Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum
menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang
mengikat.Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya
aturan-aturan hukum.[5]Sumber
hukum formil adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar
berlakunya hukum secara formal atau merupakan dasar kekuatan mengikatnya
peranan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum (causa
efficient dan hukum).[6]
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum
Formal adalah :
- Undang-undang;
- Kebiasaan;
- Traktat atau Perjanjian Internasional;
- Yurisprudensi;
- Doktrin.
1. Undang-undang :Undang-undang di sini identik dengan hukum tertulis (ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Pengertian hukum tertulis sama sekali tidak dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat tulis..dengan perkataan lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai dirumuskan secara tertulis oleh pembentukan hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).Undang-undang dapat dibedakan atas :[7]
- Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan
penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga disebut
undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan
ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara
pembentukannya.
- Undang-undang dalam arti materiil, yaitu keputusan atau
ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan
mengikat setiap orang secara umum.
2. Kebiasaan :Dasarnya : Pasal 27
Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam
penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih
mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di
kalangan rakyat. Untuk itu ia harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.[8]
3. Traktat atau Perjanjian Internasional :
3. Traktat atau Perjanjian Internasional :
Perjanjian Internasional atau
traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal.Dikatakan
demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar
dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional. Dasar hukum
treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :
- Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain;
- Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
4. Yurisprudensi : Pengertian
yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika)
sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan
pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk
Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan.Adapun yurisprudensi yang kita
maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu
pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh
suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas
dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan berwibawa. Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping
itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat
dalam putusan.Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua
macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
- Putusan perdamaian;
- Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
- Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
- Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste
jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam
perkara sejenis.
5. Doktrin :Doktrin adalah pendapat
pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan hakim
selalu berpedoman pada pakar tersebut. Doktrin bukan hanya berlaku dalam
pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional,
bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.Begitu pula bagi
penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan
kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat pakar-pakar
fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya.
Struktur
Peraturan Perundangan
Jenis dan Hierarki
Hierarki
maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut
adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No.
10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
-UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.[9]
-Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh
Darussalam,
serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dari
Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana
hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Undang Undang Dasar 1945
UUD
1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah
resmi UUD 1945 adalah:
- Naskah
UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5
Juli1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal
- Naskah
Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan
Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000,
2001, 2002).
Undang-Undang
Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5
Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada
Opini.
Undang Undang
Undang-Undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama
Presiden.
Materi
muatan Undang-Undang adalah:
- Mengatur
lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak
dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara
serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah,
kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
- Diperintahkan
oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi
muatan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah
Peraturan
Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.Materi muatan Peraturan
Pemerintah adalah materi menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.Materi muatan Peraturan
Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Daerah
Peraturan
Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau
bupati/walikota).Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut TAP MPR No. III/MPR/2000
Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
1. Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat
dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR-RI) merupakan putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam
sidang-sidang MPR.
3. Undang-Undang (UU) dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945
serta TAP MPR-RI.
4. Perpu dibuat oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.Perpu harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut.
b.DPR dapat menerima atau
menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
c.Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
c.Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah (PP)
dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang. 6. Keputusan
Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan.[10]
Asas-asas Peraturan Perundangan
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
berpendapat dan bertindak.Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan
berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan.Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran
yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang
mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam
pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam
dua bagian kelompok asas utama yaitu
asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan asas formal atau
prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.[11]
Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto[12],
memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non
retroaktif);
b. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang
lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex
generalis);
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan
membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex
posteriori derogate lex periori);
e. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
f. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal
mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat
maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief,
mengajukan lima asas, sebagai berikut:
a. Asas tingkatan hirarkhi;
b. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
d. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e. UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat
lex periori).
Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der
Vliesdi mana asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi
menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.
Asas formal mencakup:[13]
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
b. Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
organ);
c. Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e. Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
a. Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van
duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek),
b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids
beginsel);
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het
beginsel van de individuale rechtsbedeling).
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana
dikutip oleh Maria Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan
perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan
yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang
oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan
konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.[14]
Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika
dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai
berikut :
a. Asas–asas formal:
1. Asas tujuan yang jelas.
2. Asas perlunya pengaturan.
3. Asas organ / lembaga yang tepat.
4. Asas materi muatan yang tepat.
5. Asas dapat dilaksanakan.
6. Asas dapat dikenali.
b. Asas–asas materiil:
1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental
negara.
2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
4. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dalam Islam, prinsip-prinsip perumusan peraturan
perundang-undangan (qanun) juga telah lama diperkenalkan oleh ahli Islam
seperti Al Ghazali, Ibnu al Qayyim al Jauziyah, dan tokoh-tokoh kontemporer
lainnya. Beberapa prinsip itu antara lain:
a. Pluralisme (al ta’addudiyyah); suatu prinsip keanekaragaman, di
mana setiap peraturan perundang-undangan yang disusun harus menghargai,
mengakomodasi keberagaman di suatu komunitas.
b. Nasionalitas (muwathanah); spirit nasionalisme yang melandasi
bangunan bangsa Indonesia harus menjadi batu pijak dan poros dalam perumusan
kebijakan (meskipun ia berbasis pada syariat Islam).
c. Penegakan hak asasi manusia (iqamat al huquq al Insaniyah);
menurut Imam Ghazali adalah bahwa perumusan kebijakan dioreintasikan pada
komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan. hak asasi manusia juga diacu
sebagai landasan perumusan materi kebijakan.
Terdapat enam hak yang dikenal dalam disiplin Syariat Islam:
a. Hak untuk hidup (hifdz al nafs aw al hayat)
b. Hak kebebasan beragama (hifdz a din)
c. Hak kebebasan berfikir (hifdz al aqli)
d. Hak properti (hifdz al maal)
e. Hak untuk mempertahankan nama baik (hifdz al irdh)
f. Hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al nasl)
d. Demokratis: secara prinsipil nilai-nilai Islam berkesesuaian
(compatibel) dengan nilai-nilai demokrasi. Beberapa di antaranya:
a. Egalitarianisme (al musawah)
b. Kemerdekaan (al hurriyyah)
c. Persaudaraan (al ukhuwwah)
d. Keadilan (al adalah)
e. Musyawarah (al syuro)
f. Kemaslahatan (al mashlahah)
Ibnu al Qayyim al Jauziyah menyebutkan bahwa syariat Islam itu dibangun
untk mewujudkan nilai-nilai universal seperti: al mashlahah (kemaslahatan), al
adalah (keadilan), al rahmat (kasih sayang), al hikmah (kebijaksanaan).
e. Kesetaraan dan keadilan gender: setiap kebijakan disusun tidak
boleh membedakan setiap jenis kelamin. Ia harus mengakomodasi dan mensetarakan
gender.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada
dasarnya menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat,
baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam peraturan
perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ pembentuk, dan
lain-lain. Untuk memudahkan pemahaman, di bawah ini akan diuraikan penjelasan
asas-asas itu yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian asas yang harus dipenuhi.
Uraian berikut ini sebagian besar mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan, dengan tambahan dan penjelasan yang
dideduksi dari uraian para ahli.
2.1. Asas-asas Hukum Umum
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun
demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi
keadilan masyarakat. Sebagai contoh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, yang digunakan untuk mengadili peristiwa pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi di Timor Timur yang terjadi pada 1999.
b. Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior);
peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih
tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi norma dan peraturan
perundang-undangan.
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex
generalis); sebagai contoh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
adalah lex specialis yang mengesampingkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan
membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori
derogate lex periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat
klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan
menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan,
kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.[15]
2.2. Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam
menilai substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah (1)
nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di
dalam konstitusi; jaminan integritas hukum nasional; dan (3) peran negara
versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah
sebagai berikut:
a. Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketenteraman masyarakat.
b. Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c. Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik.
d. Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
e. Keadilan; memuat misi keadilan.
f. Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan
akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g. Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui
jaminan hukum.
h. Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan
antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan
negara.
i. Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang
memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai
tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
j. Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik
langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku,
agama, dan identitas sosial lainnya.
k. Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak
dicapai, akurasi pemecahan masalah.
l. Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
m. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki
peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan
kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.
n. Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara
filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan
harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna
dan hasil guna.
p. Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah
dimengerti dan tidak multitafsir.
q. Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara
holistik dan tidak parsial.
r. Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan
disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik),
tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
s. Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang
pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan
hukum yang fair.
t. Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan
perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali
bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan.
2.3. Asas formal/ Prinsip-prinsip Teknik Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan[16]
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus
memenuhi asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Aksessibilitas dan keterbukaan; proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi perencanaan, persiapan, pembentukan, dan pembahasan
harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.
b.Akuntabilitas; proses peraturan perundangan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka yang meliputi: akurasi perencanaan kerja,
kinerja lembaga legislatif dan eksekutif, serta pembiayaan.
c.Partisipasipublic ; proses pembentukan peraturan perundangan
membutuhkan kemampuan menangkap aspirasi dan kekhawatiran publik; kecermatan
memahami masalah secara akurat; serta kapasitasnya menemukan titik-titik
konsensus antara berbagai pengemban kepentingan tentang suatu isu atau
permasalahan, termasuk penyediaan mekanisme partisipasi dan pengelolaan
aspirasi.
d. Ketersediaan kajian akademik; proses pembentukan peraturan
perundang-undangan harus didahului dengan kajian mendalam atas masalah yang dihadapi
atau hal-hal yang hendak diatur, yang biasanya dituangkan dalam bentuk draft
akademik.
e.Kekeluargaan; proses pengambilan kesepakatan diupayakan dengan
jalan musyawarah.
3. Sumber-Sumber Peraturan perundang-undangan
Sumber secara literal berarti tempat keluar, atau tempat di mana
sesuatu itu diambil atau berasal.[17]
Jika demikian, sumber pembentuk peraturan perundang-undangan adalah segala
sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, keyakinan, dan lain sebagainya
yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan norma-norma hukum yang kemudian
diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
Secara teoritik, sumber peraturan perundang-undangan jika mengacu
pada asas hirarkhi adalah bersumber pada peraturan perundang-undangan yang
berada pada jenjang di atasnya.Namun demikian, dalam praktiknya, perdebatan dan
kerja pembentukan peraturan perundang-undangan bisa mengacu pada segala macam
diskursus, keyakinan, agama, dan lain sebagainya.Pada dasarnya, sebagai
konsekuensi sosiologis dan keberagaman yang dimiliki oleh suatu bangsa,
berbagai kehendak dan aturan yang bersumber pada keyakinan idiologisnya sah-sah
saja menjadi sumber hukum. Akan tetapi semua itu harus mengacu pada konsensus
yang telah disepakati dan dijadikan state ground norm, norma dasar negara.
Indonesia di awal kemerdekaannya hingga kini telah menyepakati bahwa Pancasila
adalah hasil dan produk konsensus nasional yang telah disepakati oleh semua
elemen bangsa melintasi batas wilayah, idiologi, agama, suku, dan lain
sebagainya.[18]
Sumber peraturan perundang-undangan dengan kata lain bisa disebut
dengan landasan peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief menyebut tiga
kategori landasan:
a. Landasan filosofis, di mana norma-norma yang diadopsi menjadi
materi muatan peraturan perundang-undangan mendapat justifikasi atau pembenaran
secara filosofis.
b. Landasan sosiologis, di mana rumusan norma-norma hukum
mencerminkan kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
c. Landasan yuridis, di mana norma-norma yang tertuang merujuk
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hirarkhinya lebih
tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ pembentuknya;
dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan hukum tentang
masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3.1. Pancasila
Pancasila merupakan pedoman sekaligus ajaran yang telah diakui dan
diyakini sebagai pandangan dan falsafah hidup bangsa Indonesia serta sebagai
dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pancasila sebagai dasar negara adalah
mengikat seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila itu
memberikan arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita dan
tujuan nasional.Penegasan di atas mengandung arti bahwa secara idiil tatanan
masyarakat Indonesia telah dirumuskan dalam nilai-nilai yang terkandung pada
setiap sila Pancasila.Posisinya yang demikian kuat, Pancasila menjadi sumber
bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Di samping sebagai sumber, Pancasila juga merupakan instrumen
penyaring nilai, norma, dan keyakinan yang lain yang hendak dijadikan peraturan
perundang-undangan nasional. Misalnya sebagian orang hendak menyusun peraturan
perundang-undangan berdasarkan nilai tertentu, yang bersumber dari agama dan
keyakinan tertentu, di sini tugas Pancasila adalah menakar apakah ia sesuai
dengan sila-sila Pancasila atau tidak. Jika tidak sesuai maka demi keutuhan
nasional dan konsensus, memilih dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
harus tetap dijaga. Meskipun Pancasila tidak lagi disebut sebagai sumber segala
sumber pascalahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan,
karena isi Pancasila melekat dalam UUD 1945 yang menempati hirarkhi teratas
peraturan perundang-undangan, maka sesungguhnya Pancasila tetap merupakan dasar
dan inspirasi pembangunan hukum nasional.[19]
3.2. Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
norma dasar yang harus dipedomani dalam merumuskan berbagai peraturan
perundang-undangan. Ia menempati urutan pertama dalam hirarkhi peraturan
perundang-undangan. Karakter konstitusi di manapun, ia merupakan
prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang menuntut penjabaran lebih
lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang di bawahnya. Di dalam
diri UUD 1945 misalnya, terdapat lebih kurang 53 perintah langusng perumusan
peraturan perundang-undangan.Karena itu UUD 1945 tidak hanya mendelegasikan
pembentukan perundang-udangan, menuntut atribusi, tapi juga menjadi sumber bagi
perumusan peraturan perundang-undangan itu.
3.3. Yurisprudensi
Yurisprudensi atau keputusan-keputusan lembaga peradilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap, juga bisa dijadikan sebagai sumber
pembentukan peraturan perundang-undangan. Meskipun keputusan hakim itu perlu
diuji kebenarannya, akan tetapi secara umum ijtihad-ijtihad (usaha penemuan
hukum, rechfinding) yang dilakukan para hakim bisa kemudian dijadikan sumber
bagi perumusan peraturan perundang-undangan.
3.4. Hukum Agama
Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan.Keberadaan
agama-agama dan kepercayaan itu diakui keberadaannya oleh konstitusi. Secara
sosiologis ia juga memiliki penganut sendiri-sendiri. Setiap agama memiliki
ajaran dan norma yang diyakini dan dipeluk oleh pemeluknya masing-masing.
Berbagai nilai kebenaran tersimpan di dalam agama-agama itu. Karena
keyakinannya, tak pelak, dalam praktik pembentukan peraturan
perundang-undangan, dipastikan dimensi agama akan merasuk di dalam setiap
perspektif dan pendapat pada pembuat peraturan perundang-undangan. Namun
demikian, karena tidak semua norma agama dapat dikuailfikasi sebagai norma
hukum yang diyakini kebenarannya oleh semua orang, maka kalaupun agama menjadi
sumber pembentuk peraturan perundang-undangan, ia harus dipastikan tidak
memaksakan norma non hukum dijadikan norma hukum.
Pilihan untuk tidak memaksakan norma non hukum yang bersumber dari
agama-agama dan kepercayan adalah sebagai konsekuensi politik dan sosiologis
berbangsa dan bernegara. Banyak norma hukum yang terkandung di dalam
agama-agama yang bisa diadopsi menjadi materi muatan peraturan
perundang-undangan, tapi tidak sedikit juga norma non hukum dalam agama-agama
dan kepercayaan yang justru lebih mulia dan tetap dipatuhi oleh pemeluknya,
dibandingkan jika ia dipaksakan untuk ditampilkan secara formal dalam sebuah
kebijakan negara.
3.5. Hukum Adat
Sama dengan agama-agama dan kepercayaan pada uraian di atas,
bangsa ini juga memiliki beragama hukum adat yang masih hidup di tengah
masyarakat. Hukum adat, kecuali yang sudah menjadi sistem dan diadopsi secara
nasional, ia juga tidak bisa semuanya digeneralisir sebagai suatu norma yang
dapat ditampilkan di aras publik dan mengikat semua orang. Karena fakta
sosiologisnya bangsa Indonesia terdiri dari beragam adat. Meskipun demikian
tidak menutup kemungkinan kearifan adat dan nilai serta norma yang dimiliki
oleh sebuah komunitas adat dapat diobyektivikasi dan diakui oleh semua orang
sehingga ia bisa dikualifikasi sebagai norma hukum, dan kemudian diadopsi
menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
3.6. Hukum Internasional
Hukum internasional, baik berupa perjanjian internasional,
ratifikasi kovenan dan konvensi yang dikeluarkan oleh badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau badan internasional lainnya, merupakan sumber atau referensi
yang bisa dirujuk dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. Bahkan untuk
beberapa kovenan dan konvensi yang sudah diratifikasi, sesungguhnya ia telah
mengikat secara hukum (legally binding), yang harus dirujuk dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.[20]
[1] Alfian,“ pengertian sumber hukum”,dalam http://ratusan makalah. wordpress. com, diakses
26 september 2013.
[2]Zoel,”sumber hukum dan tertib hukum”, dalam http://vjkeybot.
wordpress. com, diakses 26 september 2013.
[3] Alfian Op.cit
[4]Zoel Op.cit
[5]Ayib rosiqin,”sumber hukum formal”, dalam http://ajhieb.
blogspot. com, diakses 26 september 2013.
[10]Ihshan,”tata urutan perundangan”, dalam http://ihshan07.
wordpress. com, diakses 28 september 2013.
[11]Eka Saripudin,”asas-asas dan sumber peraturan
perundangan”,dalamhttp://
sosbud. kompasiana. com, diakses 28 september 2013.
[12]Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
“Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi”, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1989, hal 7-11
[13]A. Hamid S Attamimi,”Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Studi Analisis mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Jakarta:
Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1990, h. 330
[17]Departemen Pendidikan Nasional,”Kamus Besar Bahasa Indonesia”,
Jakarta, Balai Pustaka, 2002, Edisi III, hal 1102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar