Pengertian
Hukum
Adat adalah hukum/
peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang
hanya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat mempunyai
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis karena peraturan-peraturannya tidak
tertulis. Dalam hukum adat dikenal juga Masyarakat Hukum adat yaitu sekumpulan
orang yang di ikat oleh tatanan hukum/ peraturan adat sebagai warga bersama
dalam satu persekutuan hukum yang tumbuh karena dasar keturunan ataupun
kesamaan lokasi tempat tinggal.
Setiap
bangsa di dunia mempunyai adat kebiasaan masing-masing antara adat bangsa yang
satu dan bangsa yang lain tidaklah sama. Karena perbedaan/ ketidak samaan
tersebutlah adat dapat membuat kita saling mengenal identitas suatu perkumpulan
adat. Oleh karena itu adat adalah suatu pencerminan diri pada kepribadian
sebuah bangsa.[1]
Prof. DR. Soekanto
Dalam bukunya
“Meninjau Hukum Adat Indonesia” ia sampaikan bahwa : “Kompleks Adat-adat
inilah yang kebanyakan tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan , bersifat
paksaan (dwang) dan mempunyai akibat
hukum (Rechtsgevolg)…..”
Kesimpulannya menurut beliau Hukum Adat itu mempunyai cirri-ciri :
- Tidak
dibukukan
- Tidak
dikodifikasikan
- Bersifat
paksaan dan
- Mempunyai
akibat hukum[2]
Prof. DR. Soepomo
Pendapat Supomo
dalam beberapa catatan mengenai “Kedudukan Hukum Adat”, diantaranya ia menulis
:
-Dalam Tata hukum
baru Indonesia istilah Hukum Adat ini dipakai sebagai sinonim dari hukum
yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (non-statutory law)
-Hukum yang hidup
sebgai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan-dewan Propinsi dan
sebagainya;
-Hukum yang timbul
karena putusan-putusan Hakim (Judgemade
Law);
-Hukum yang hidup
sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup
baik di kota-kota maupun di desa-desa (Customary
Law).
Ter Haar.
Ter Haar membuat dua perumusan, yang
menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan Hukum Adat itu,
yaitu:
Pertama:pidato
dies tahun 1930,dengan judul“Peradilan Landraad berdasarkan
hukum tak tertulis. Hukum Adat lahir dari dan diperlihara oleh
keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat umum, terutama keputusan
berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan
perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan, keputusan
para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu
karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, melainkan seapas-seirama dengan kesadaran tersebut,
diterima/diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.
Kedua,
Dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek, “Hukum Adat Hindia Belanda di dalam
ilmu, praktek dan pengajaran”
Hukum adat itu dengan mengabaikan
bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa,
surat-surat perintah Raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam
keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai
wibawa serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta
(spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris di sini terbatas pada
dua kekuasaan yaitu Eksekutif dan Yudikatif. Dengan demikian Hukum Adat yang
berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam keputusan-keputusan
fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tetapi juga Kepala Adat, rapat desa,
wali tanah, petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja keputusan
mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu berdasarkan
kerukunan (musyawarah). Keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai
yang hidup sesuai dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota
persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran Beslissingenleer (ajaran
keputusan).[3]
Van Vollenhoven.
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah
laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu: “Hukum”) dan
di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu “Adat”).
Positif yaitu hukum yang dinyatakan berlaku
di sini dan kini. Sanksi yaitu reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas
pelanggaran suatu norma (hukum). Kodifikasi yaitu pembukuan sistematis suatu
daerah/lapangan/bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian
diatur), lengkap (yang diatur segala unsurnya) dan tuntas (yang diatur semua
soal yang mungkin timbul).
Sumber Hukum Adat
Dalam membicarakan sumber hukum (Adat)
dianggap penting terlebih dahulu dibedakan atas dua pengertian sumber hukum
yaitu Welbron dan Kenbron.
Welbron adalah
sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti
Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam
masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah konsep tentang
keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti dimana hukum
(adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain perkataan sumber dimana
asas-asas hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam masyarakat sehingga dengan
mudah dapat diketahui.
Kenbron itu merupakan penjabaran dari
Welbron. Atas dasar pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang
menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum dalam arti Kenbron
itu adalah:
1.Adat kebiasaan.
2.Yurisprudensi.
3.Norma-norma Hukum Islam yang telah meresap
ke dalam Adat istiadat masyarakatindonesia asli.
4.Kitab-kitab Hukum Adat.
5.Buku-buku Standar tentang Hukum Adat.
6.Pendapat Ahli Hukum Adat.
Dengan demikian hukum adat dapat ditemukan
baik dalam adat kebiasaan maupun dalam tulisan-tulisan yang khusus
memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum atau mungkin
pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat.[4]
Asas
Hukum Adat
Asas
Religio Magis
(Magisch-Religieus)
adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau
cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.
Kuntjaranigrat
menerangkan bahwa alam pikiran religiomagis itu mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:
Kepercayaan
kepada makhluk-makhluk halus, rokh-rokh dan hantu-hantu yang menempati seluruh
alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh
manusia dan benda-benda.
Kepercayaan
kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat
dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luas biasa,
binatang-binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang
luar biasa.
Anggapan
bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai “magische kracht”
dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau menolak
bahaya gaib.
Anggapan
bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis,
menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari
atau dihindarkan dengan berbagai macam pantangan.
Bushar
Muhammmad tentang pengertian religio-magis mengemukakan kata “participerend
cosmisch” yang mengandung pengertian komplek. Orang Indonesia pada dasarnya
berpikir, merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada
tenaga-tenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia
kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tubuhan besar dan kecil,
benda-benda; dan semua tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu
keadaan keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari
keseluruhan hidup jasmaniah dan rokhaniah, “participatie”, dan
keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila
terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berujud dalam
beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage).[5]
Asas Komun (Commun)
Asas Komun berarti mendahulukan kepentingan umum daripada
kepentingan diri sendiri. Asas korum merupakan segi atau corak yang khas dari
suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya
sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam
masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan
keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.
Dalam masyarakat semacam itu individualitas terdesak ke belakang. Masyarakat,
desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan
dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan Desa adalah
berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan
hormat, dengan khidmat.[6]
Asas Contant (Tunai)
Asas Contant (Tunai)
Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu
perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum
yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan
waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan
demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah
timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang
tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum
yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum
yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan,
tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu
mempunyai arti logis satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang
suatu perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas, perkawinan jujur,
melepaskan hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.
Asas Konkrit ( Visual )
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan
hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si
pembeli menyerahkan uang/uang panjer.Di dalam alam berpikir yang tertentu
senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan,
dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi ujud suatu
benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai obyek
yang dikehendaki (simbol, benda yang magis).Contoh: Panjer dalam maksud akan
melakukan perjanjian jual beli atau memindahkan hak atas tanah; peningset
(panyangcang) dalam pertunangan atau akan melakukan perkawinan; membalas dendam
terhadap seseorang dengan membuat patung, boneka atau barang lain, lalu barang
itu dimusnahkan, dibakar, dipancung.
Asas Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu
diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari
pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan
perwakilan sebagai system pemerintahan.Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap
tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.[7]
[1]Ahmad Supriyadi,”pengertian hukum adat”,dalam http://temukanpengertian. blogspot. com, diakses 18 November 2013.
[2]Khayatudin,”pengertian hukum adat”, dalam http://khayatudin.blogspot.com, diakses 18 November 2013.
[3]Dwi
Yani,”sumber dan asas hukum adat”,dalam http://hukum-dan-umum.
blogspot. com, diakses 18 November 2013.
[4]Elmiqra,”definisi dan sumber hukum adat”,dalam http://elmiqra. blogspot. com, diakses 18 November 2013.
[5]Idahlina,”asas hukum adat”, dalam http://idahlania.wordpress.com,
diakses 18 November 2013.
[6]Kholek
Joxzin,”asas dalam hukum perdata”, dalam http://kholekjoxzin.
blogspot. com, diakses 18 November 2013.
[7]Dwi Yani Op.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar