Pengertian
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah
satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU
No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir
diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989
dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”
Pengertian Hukum Acara Hukum acara
(hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh
karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimanammelaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata
materil.Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara
perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur
secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).[1]
Sebelum membahas perihal pengertian Hukum Acara Peradilan
Agama, akan dikemukanan terlebih dahulu tentang pengertian Peradilan Agama dan
Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah
satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang
resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan
Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua
Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili
perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini,
Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana
dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam
perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perkara perdata
Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis
perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut
agama Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah
disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal
2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan
kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal.
Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara
universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai
prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau
dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu
Negara tertentu saja. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang
dimaksudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah
“Peradilan Agama”.
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah
Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan
peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena
itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama adalah diusulkan sebagai berikut :
“Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara
maupun dari syariat Islam yang mengatur tentang bagaimana cara orang bertindak
ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan
hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”.
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman
yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata
tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal
2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian
keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang
beragama Islam.
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3
tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan
dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan
adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3
tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata”
dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan
kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh[2]
Sumber Hukum Acara Pengadilan Agama
A.
UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004
Dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas
penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama
bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam
Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti,
dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan,
bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam
Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan
pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Dan semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.[3]
Dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan
kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan
perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.
Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan
kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta
panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan,
pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian
dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan
peralihan.
B. UU No. 1 tahun 1974
Dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,
batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,
harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan
anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian,
ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti
Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus
menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama
ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat
kita.Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai
perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu
dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu
dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material.
2.
Dalam Undang-undang ini dinyatakan,
bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam
pencatatan.
3.
Undang-undang ini menganut azas
monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan
agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih
dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang
isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
4.
Undang-undang ini menganut prinsip,
bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang
masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita
untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan
itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria
maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam
belas) tahun bagi wanita.
5.
Karena tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang
ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada
alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
6.
Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun
dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
Mahkamah Agung adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan,
hakim anggota, panitera, danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota
Mahkamah Agung adalah hakim agung dan hakim agung paling banyak 60 orang.
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan
beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua
bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial.Wakil ketua bidang yudisial
membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda
militer, dan ketua muda tata usahanegara.Pada setiap pembidangan, Mahkamah
Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh
ketua muda.Wakil ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan
ketuamuda pengawasan. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah
Agung selama 5 (lima) tahun.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka,
di samping Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung
mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Undang-Undang ini memuat perubahan
terhadap berbagai substansi Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Perubahan tersebut, di sampingguna disesuaikan dengan arah kebijakan
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, juga didasarkan atas Undang-Undangmengenai kekuasaan kehakiman baru yang
menggantikan Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakimansebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Berbagai
substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentangpenegasan
kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, syarat-syarat
untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang
menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam
memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi
kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan
untuk mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan dalam
masyarakat.
Dengan
bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agungantara lain
di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi,dan
finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka organisasiMahkamah
Agung perlu dilakukan pula penyesuaian.
D. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No.
3/2006[5]
Dalam
Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi
ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula,
kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan", dinyatakan dihapus.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskanadanya pengadilan
khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan
undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.
Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.
Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.
Pengadilan
agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota
provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
E. PP No. 9 Tahun 1975[6]
Peraturan
Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah pencatatan
perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara
mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus
perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.
Karena
untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah
persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai
Departemen atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen
Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan
tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah
persiapan tersebut.
F. HIR, Rbg, dan RV
HIR (Het
Herziene Indonesisch Reglement)
Reglemen tentang melakukan tugas
kepolisian, mengadili perkaraperdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa
Indonesia danbangsa Timur Asing di Jawa dan Madura.
Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.
Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.
Dalam reglemen ini memuat:
1. Hal melakukan
tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan polisi yang Lain
2. Hal mengadili
perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri.
RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)
RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)
Reglemen Untuk
Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam reglemen ini
memuat:
1.
Cara
mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama menjadi wewenang
pengadilan Negeri yang meliputi:
·
Pemeriksaan di Sidang pengadilan
·
Musyawarah dan Keputusan pengadilan
·
Banding.
·
Pelaksanaan keputusan hukum
·
Beberapa acara khusus
·
Izin berperkara tanpa biaya
2. Bukti dalam perkara perdata
RV (Reglement of de Rechtsvordering)
RV
adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata
tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian
dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian
dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg.
Asas Hukum Acara Pengadilan Agama
1. Asas Umum Lembaga Peradilan
Agama
Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas
kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah
merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU
Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini
mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur
tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva
atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisialkecuali
dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
b) Asas
Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan
undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.
c) Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum
Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan
kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d) Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di
lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang
tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo
pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha
menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana
adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak
terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab
apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan
timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah
dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan
yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian
mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui
alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis
hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya
mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud
adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta
menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara.
Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap
apriori terhadap keberadaan pengadilan.
Segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap
orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
f) Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili
menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3
(2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo.
Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan
Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang,
sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang
di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat
dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan
hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi
dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan
pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau
atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
1) Asas Personalitas
Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat
ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya
beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006
Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan
Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a. Para pihak yang bersengketa
harus sama-sama beragama Islam.
b. Perkara perdata yang
disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c. Hubungan hukum yang
melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara
perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya
Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan.
Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila
terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute
peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad),
baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas
ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya,
setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada
saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat
terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas
ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan
menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa
mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku
beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman.
Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan
lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat
terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama,
pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam,
dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu
tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam.
2) Asas Ishlah (Upaya
perdamaian)
Upaya perdamaian diatur
dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan
Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk
menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena
itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi
“mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan
lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3) Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum
diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3
Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara
di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan
lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara
siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan
dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan
Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan
pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama).
4) Asas Equality
Setiap orang yang
berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga
tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi
normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam
upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan
adalah :
a. Persamaan hak dan derajat
dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equality before the law”.
b. Hak perlindungan yang sama
oleh hukum atau “equal protection on the law”
c. Mendapat hak perlakuan yang
sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
Terlepas dari perkembangan
praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau
tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara
yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana
yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6) Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7) Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan
dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para
pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8) Asas Upaya Hukum Peninjauan
Kembali
Terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan
kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9) Asas Pertimbangan Hukum
(Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
[1]Zoel,”hukum acara peradilan agama”, dalam http://vjkeybot.wordpress.com,
diakses 5 Desember 2013.
[2]Lina
Sudyawatidiantara,”asas dan sumber hukum
acara peradilan”, dalam http:// linasudyawatidiantara. blogspot.com,
diakses 5 Desember 2013.
[3]
Ilham Irwansyah,”sumber hukum acara
peradilan agama”, dalam http://ilham-irwansyah.blogspot.com,
diakses 5 Desember 2013.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7]Sanfuristas,”asas dan sumber hukum acara peradilan
agama”, dalam http://sanfuristas.blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar