1.Periode
Kolonialisme
Periode
kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC,Masa Besluiten Regerings , Masa Regeringsreglement,Masa Indische Staatsregeling,dan Politik etis hingga penjajahan
Jepang.[1]
a.
Periode VOC
Pada
masa berdagang di Indonesia VOC diberi hak-hak istimewa oleh pemerintah
Belanda.Hak istimewa tersebut adalah hak octrooi yang meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian,
dan mencetak uang.Karena hak istimewa tersebut, VOC semakin menjadi-jadi dengan
memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Belanda kepada penduduk pribumi.
Ketentuan hukum tersebut sama dengan hukum Belanda kuno yang sebagian besar
merupakan hukum disiplin .
VOCmengumpulkan
aturan-aturan yang mulanya tidak disimpandengan baik hingga akhirnya diberi nama Statuta Batavia (1642).
Usaha serupa dilakukan lagi pada tahun 1766 dan menghasilkan Statuta
Batavia Baru.Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Freijer yang di
didalamnya termuat aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam.Selain
peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh VOC, pada masa ini pun kaidah-kaidah
hukum adat Indonesia tetap dibiarkan berlaku bagi orang-orang bumi
putera (pribumi).[2]
Pada
masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1)
Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri
Belanda;
2)
Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3)
Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Dari
uraian di atas dapat diketahi bahwa ketika VOC berakhir pada 31 desember 1799 (
karena VOC dibubarkan oleh pemerintah belanda) tata hukum yang berlaku pada
waktu itu terdiri atas aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan
aturan-aturan yang diciptakan oleh gubernur jendral yang berkuasa di daerah
kekuasaan VOC. Serta aturan-aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku
bagi orang-orang pribumi , yaitu hukum adatnya masing masing.
Hukum Belanda
diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa.Sedangkan bagi pribumi,
yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara
mandiri.Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak
dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap
rakyat pribumi di masa itu.[3]
b.
Besluiten
Regerings (1814-1855)
Pada
masa Besluiten Regerings (BR) raja mempunyai kekuasaan mutlak
dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap
harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja tersebut diterapkan
pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan
nama Algemene Verordening atau peraturan pusat. Peraturan
pusat berupa keputusan raja maka dinamakan koninklijk besluit.Pengundangannya
lewat selebaran yang dilakukan oleh gubernur jendral. Ada dua macam
keputusan raja sesuai dengan kebutuhannya.
1. Ketetapan raja yaitu besluit sebagai
tindakan eksekutif raja misalnya ketetapan pengangkatan gubernur jendral.
2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislative, misalnya
berbentuk Algemene Verordening atauAlgemene maatregel van
bestuur di negeri Belanda.
Raja
mengangkat para komisaris jendral yang ditugaskan untuk melaksanakan
pemerintahan di Nederlands Indie (Hindia Belanda).Mereka yang
diangkat ialah Elout Buyskes dan Van der Capellen. Para komisaris
jendral itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya.Mereka
tetep memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada
masa Inggris berkuasa di Indonesia, yaitu mengenai Landrete dan
susunan pengadilan buatan Raffles. Lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi
orang-orang pribumi tetap sama digunakan peradilan Inggris begitu pula
pelaksanaannya. Dalam usaha untuk memenuhi kekosongan kas Negara
Belanda, Gubernur Jendral Du Bus de Gisigres menerapkan politik agraria
dengan cara memperkerjakan orang-orang pribumi yang sedang menjalankan hukuman
yang dikenal dengan kerja paksa (dwangs arbeid).
Pada
tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum
perdata.Pengundangan hukum yang sudah berhasil dikodifikasi itu baru dapat
terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838.Setelah itu timbul pemikiran tentang
pengkodifikasian hukum perdata bagi orang-orang Belanda yang berada di Hindia
Belanda. Pemikiran itu akan diwujudkan sehingga pada tanggal 15 Agustus 1839
menteri jajahan di Belanda mengangkat komisi undang-undang bagi Hindia Belanda
yang terdiri dari Mr. Scholten van Out Haarlem (ketua) dan Mr. J. Schneither
serta Mr.J.F.H. van Nes sebagai anggota. Beberapa peraturan yang berhasil
ditangani oleh komisi itu dan disempurnakan oleh Mr. H.L.Whicer adalah:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Peradilan.
2. Algemene Bepelingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan-ketentuan umum tentang
perundang-undangan.
3. Burgerlijk Wetboek (BW)
atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. Wetboek van Kooponhandel (WvK)
atau KUHD
5. Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan Tentang Acara Perdata.
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa tata hukum pada masa Besluiten Regerings terdiri dari
peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan.Peraturan tertulis yang tidak
dikodifikasi, dan peraturan-peraturan tidak tertulis yang khusus berlaku bagi
orang bukan golongan Eropa.[4]
c.
Regerings
reglement (Periode liberal Belanda)
Pada tahun 1848 terjadi
perubahan Grond Wet (UUD) di negeri Belanda.Perubahan UUD
negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap kekuasaan
raja, karenaStaten Generaal (Perlemen)
campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di
Indonesia. Perubahan penting yang berkaitan dengan pemerintahan dan
perundangan, ialah dengan dicantumkannya Pasal 59 ayat I,II,dan IV Grond Wet yang isinya:
Ayat
1:Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian
dari dunia.
Ayat
II dan IV: Aturan tentang kebijaksanaan pemerintah melalui undang-undang.
Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut
mengenai daerah-daerah jajahan dan harta kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang.
Peraturan
yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh raja denganKoninklijk
Besluit-nya, tetapi peraturan itu ditetapkan bersama oleh raja dan
perlemen.Dengan demikian, sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional
menjadi monarki konstitusional parlementer.[5]
Peraturan
tersebut disebut Regeringsreglement Pada tahun 1854 di Hindia Belanda atau disebut
juga Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum
pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.[6]
Otokratisme administrasi kolonial masih
tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis
sebelumnya.Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi
ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena
eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang
berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
d.
Indische
Staatsregeling (1926-1942)
Indische
Staasregeling (IS) adalah RR yang sudah
diperbaharui dan berlaku tanggal 1 Januari 1926 melalui S.1925:415. Pembaruan
RR atau perubahan RR menjadi IS ini karena berubahnya pemerintahan Hindia
Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negeri Belanda
pada 1922. Pada masa berlakunya IS ini bangsa Indonesia sudah turut
membentuk undang-undang dan turut menentukan nasib bangsanya karena mereka
turut dalam volksraad.
Pada
pasal 131 IS dapat diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka
kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk
Hindia Belanda pada waktu itu yang ditetapkan dalam pasal 163 IS.
Tujuan
pembagian golongan penduduk sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum
yang berlaku bagi masing-masing hukum yang berlaku bagi masing-masing
golongan.Sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai
berikut.
1.
Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131
IS adalah hukum perdata, hukum pidana material, dan hukum acara.
a. Hukum
perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah BurgerlijkWetboek danWetboek
van Koophandel dengan asas konkordansi.
b.Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa
ialah WetboekvanStrafrecht.
c. Hukum
acara yang digunakan ialah Reglement op deBurgerlijk Rechtsvorderingdan Reglement
op de Strafvodering . Susunanperadilan yang digunakan bagi golongan
Eropa di Jawa dan Madura adalah:
Residentiegerecht
Raad van Justitie
Hooggerechtshof
2. Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat
dalam bentuk tidak tertulis. Namun jika pemerintah Hindia Belanda menghendaki
lain, hukum dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya. Dengan demikian
berlakunya hukum adat tidak mutlak.Keadaan demikian telah dibuktikan dengan
dikeluarkannya berbagai ordonansi yang diberlakukan bagi semua golongan.
Susunan
peradilannya adalah:
Districtsgerecht
Regentschapsgerecht
Landraad
3. Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing :
a. Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka menurut ketentuan
Pasal 11 AB.
b. Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing
Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
c. WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918, untuk hukum pidana
material.
d. Lembaga pengadilan
Pengadilan Swapraja
Pengadilan Agama
e. Periode Politik Etis Sampai
Kolonialisme Jepang
Pada
masa penjajahan Jepang daerah Hindia Belanda dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Indonesia Timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang
berkedudukan diMakassar.
2. Indonesia Barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang
berkedudukan di Jakarta.
Peraturan-peraturan
yang digunakan untuk mengatur pemerintahan di wilayah Hindia Belanda dibuat
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.Dari ketentuan
Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/192 dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur
pemerintahan dan lain-lain tetap menggunakan Indische Staaregeling (IS).
Kemudian
pemerintah bala tentara Jepang mengelurkan Gun Seirei nomor istimewa 1942,
Osamu Seirei No. 25 tahun 1944 dan Gun Seirei No.14 tahun 1942, untuk
melengkapi peraturan yang telah ada sebelumnya. Gun Seirei nomor istimewa tahun
1942 dan Osamu Seirei No.25 tahun 1944 memuat aturan-aturan pidana yang umum
dan aturan-aturan pidana yang khusus. Gun Seirei No.14 tahun 1942 mengatur
tentang pengadilan di Hindia Belanda.
-Masa
1945-1949
Setelah
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi bangsa yang
bebas dan tidak tergantung pada bangsa lain. Sehingga Indonesia bebas
menentukan nasibnya untuk mengatur negara dan menetapkan tata hukumnya.UUD 1945
ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Sedangkan tata hukum yang berlaku adalah segala peraturan yang telah ada dan
pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda, masa Jepang berkuasa dan
produk-produk peraturan baru yang dihasilkan pemerintah Negara Republik Indonesia dari
1945-1949.
-Masa
1949-1950
Masa
ini adalah masa berlakunya konstitusi RIS.Pada masa tersebut tata hukum yang
berlaku adalah tata hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan yang dinyatakan
berlaku pada masa 1945-1949 dan produk peraturan baru yang dihasilkan oleh
pemerintah Negara yang berwenang untuk itu selama kurun waktu 27-12-1949 sampai
dengan 16-08-1950.
-Masa
1950-1959
Tata
hukum yang diberlakukan pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua
peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, kemudian
ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah Negara selama
kurun waktu dari 17-08-1950 sampai dengan 04-07-1959.
-Masa
1959-Sekarang
Tata hukum yang berlaku pada masa
ini adalah tata hukum yang terdiri dari segala peraturan yang berlaku pada masa
1950-1959 dan yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 ditambah dengan berbagai peraturan yang dibentuk
setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.[8]
Kebijakan
Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal
politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1)
Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2)
Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3)
Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4)
Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5)
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian
hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan colonial.
pembaruan
hukum di Hindia Belanda mewariskan:
1)
Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga
peradilan;
2)
Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur
Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa
pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang,
tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan
Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1)
Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang
setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2)
Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana
yang berlaku. Di bidang peradilan,
Dan
pembaharuan yang dilakukan adalah:
1)
Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
2)
Unifikasi kejaksaan;
3)
Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
4)
Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
5)
Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum
dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai
Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh
di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan
dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan
dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan
pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan
dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS
1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.Namun pada masa ini pembaharuan
hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan
hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum
nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan
internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan
menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950
tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan
Pengadilan.[9]
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai
Orde Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi
Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan
adalah:
1)
Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan
pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2)
Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti
pengayoman;
3)
Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara
langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
4)
Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai
rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih
situasional dan kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan
dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang
perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria,
dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal
asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing,
UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1)
Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum;
Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum
Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 –
Sekarang)
Sejak
pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat
kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara,
beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1)
Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2)
Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3)
Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit
lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar
pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan
perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku
semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini
ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung
meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran
HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat
untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri,
semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap
terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
[1]Shella
paditadharma,”sejarah hukum indonesia”,dalamhttp://shellapaditadharma.
blogspot. com, diakses 21 september 2013.
[2]Muhammad ikhsan,
“tata hukum atau sejarah tata hukum”,
dalam http://ikhsanm.
blogspot. com, diakses 21 september 2013.
[3]Rahmi Zantia,”sejarah hukum di Indonesia”, dalam http://rahmizantiaa.
blogspot. com, diakses 21 september 2013.
[4] Ikhsan Op.cit
[5]Shella ,Op.cit
[6]Ikhsan, Op.cit
[7]Ibid
[8] Shella Op.cit
[9]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar