Pengertian
Institusi militer merupakan
institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur
kenegaraan.Sebagai tulang punggung pertahanan negara,
institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan
prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan
keselamatan negara.Untuk itu, hampir semua institusi militer di
seluruh negara memiliki mekanisme peradilan khusus yang dikenal
sebagai peradilan militer.[1]
Di Indonesia, peradilan
militer diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentangperadilan militer. Dalam
UU tersebut, diatur beberapa hal mengenai yurisdiksiperadilan militer, struktur
organisasi dan fungsi peradilan militer, hokum acaraperadilan
militer dan acara koneksitas, serta hukum tata usaha militer.
Seiring dengan reformasi yang
terjadi di Indonesia pada 1998, muncul wacana mengenai perlunya reformasi
sektor keamanan di Indonesia. Reformasi sektor keamanan ini pada intinya
bertujuan untuk menciptakan good governance di sektor
keamanan serta menciptakan lingkungan yang aman dan tertib,
sehingga dapat menopang tujuan negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan
masyarakat. Dengan diperkuat oleh wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang
sudah muncul jauh hari sebelumnya, salah satu yang didorong untuk dilakukannya
perubahan mendasar adalah sistem peradilan militer.
Otoritarianisme Orde Baru yang
ditopang oleh kekuasaan militer, selain melahirkan pelanggaran hak asasi
manusia, juga menciptakan sebuah sistem hukum yang membentengi tindak kejahatan
dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
anggota militer.Akibatnya, meskipun Orde Baru sudah runtuh namun upaya
untuk membawa prajurit militer yang melakukan tindak pidana,
khususnya tindak pidana pelanggaran HAM dan korupsi, selalu mentok di tengah
jalan.
Di sisi lain, dalam
sistem peradilan militer tidak ada kejelasan mengenai jaminan
terhadap hak-hak sipil bagi anggota militer ketika mereka berurusan
denganperadilan militer. Hak untuk didampingi pengacara, hak untuk mengetahui
alasan penangkapan dan/atau dakwaan, hak untuk tidak diintimidasi dan disiksa,
hak untuk menghubungi dan bertemu keluarga, dan lain-lain, sama sekali tidak
diatur dalam sistem peradilan militer kita. Prajurit atau
anggota militer bagaimanapun juga merupakan warga negara (citizens
in uniform). Dengan demikian, mereka juga memiliki hak yang sama di muka
hukum dengan warga negara yang lain, di mana negara harus menjamin terpenuhinya
hak-hak tersebut.
Ketika seorang
anggota militer melakukan sebuah tindak pidana, ada beberapa jalur
hukum yang mereka miliki. Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997, apapun bentuk
tindak pidana yang dilakukan maka mereka akan diadili di peradilan
militer. Kalaupun ada unsur tindak pidana umum di dalamnya, atau tindak pidana
tersebut dilakukan bersama-sama dengan warga sipil, maka harus digunakan hukum
acara koneksitas. Di mana dalam hukum acara koneksitas ini, harus dibentuk
sebuah tim koneksitas yang mensyaratkan adanya keputusan dari Menteri
Pertahanan dan Keamanan serta persetujuan dari Menteri Kehakiman.
Dalam penanganan kasus pelanggaran
HAM, penggunaan perkara koneksitas telah menutup unsur-unsur pelanggaran berat
HAM serta menghilangkan keberadaan prinsip-prinsip universal dari hukum
internasional seperti pertanggungjawaban komando dan perintah atasan (command
responsibility and superior order).Hal ini disebabkan sering kali atasan
dalam tingkat perwira tinggi yang masuk dalam rantai komando dan berhak
memberikan perintah justru tidak menjadi orang yang bertanggungjawab melainkan
menjadi atasan yang berhak menghukum (Ankum).
Fungsi Ankum dan juga Papera yang
ada di dalam sistem peradilan militer, seperti disinggung di atas, menjadi
satu persoalan tersendiri dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia. Ankum
dan Papera punya kewenangan untuk menentukan mekanisme hukum yang akan
diterapkan terhadap sebuah tindak pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota militer. Ankum dan Papera memiliki otoritas untuk menentukan
apakah sebuah tindak pelanggaran ditempatkan sebagai pelanggaran disiplin,
tindak pidana militer atau tindak pidana umum.Bahkan ketika sebuah
pelanggaran hanya dianggap sebagai sebuah pelanggaran disiplin, Ankum dapat
langsung menentukan dan memberikan hukuman. Papera, berdasarkan UU No. 31 Tahun
1997 punya diskresi untuk menentukan apakah sebuah hasil penyidikan akan
diteruskan ke tingkat penuntutan atau tidak. Luasnya kewenangan kedua institusi
tersebut serta kecenderungan lingkungan militer yang eksklusif,
membuka peluang yang sangat luas bagi terjadinya penutupan/pemberhentian
terhadap kasus-kasus yang sebenarnya merupakan wilayah hukum pidana umum.
Di lingkungan militer juga
ada institusi DKM/DKP.Institusi ini sebenarnya dibentuk untuk memelihara kehormatan
Korps Perwira dan mengurusi pelanggaran tabiat dan disiplin perwira.Namun dalam
prakteknya banyak mengambil alih perkara-perkara tindak pidana yang dilakukan
perwira militer, sehingga menutup ruang bagi sistem peradilan yang ada
untuk menjalankan fungsinya.
Mekanisme-mekanisme penyelesaian
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer di atas
sepenuhnya merupakan pengambilalihan mekanisme hukum yang sepatutnya berlaku ke
dalam mekanisme penyelesaian internal militer.Penyelesaian internal inilah
yang terbukti melahirkan impunitas dan ketidakadilan atas sebuah tindak pidana
yang dilakukan oleh anggota militer.[2]
Di sisi lain, persoalan
peradilan militer semakin kompleks dengan adanya ketidakjelasan dan
saling tumpang tindih antara tindak pidana militer, tindak pidana umum dan
pelanggaran disiplin militer. Selain itu, aturan mengenai tindak
pidanamiliter berdasar pada UU No. 39 Tahun 1947 yang merupakan hasil
adopsi dari Kitab Undang-Undang hukum Pidana militer Belanda ketika
masih menjajah Indonesia. Dengan adanya rencana untuk melakukan revisi terhadap
Kitab Undang-Undang hukum Pidana yang juga dianggap sudah teidak relevan dengan
perkembangan masyarakat, maka sudah sepantasnya juga dilakukan perubahan
terhadap KUHPM agar sesuai dengan semangat zaman.
Upaya untuk melakukan perubahan
terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sudah mulai
dilakukan sejak tahun 2000, ketika DPR menyusun sebuah draft RUU Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Ketika akhirnya masuk
pembahasan melalui Pansus, muncul perbedaan pendapat antara DPR dengan
Pemerintah.Selama satu tahun pembahasan di tingkat Pansus, Pemerintah dan DPR
masih berkutat pada persoalan kompetensi/yurisdiksi dari
peradilan militer.Persoalan yurisdiksi ini baru mencair dengan adanya
pernyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan bahwa
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Perdebatan panjang dalam pembahasan
RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan
militer tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi mengingat sudah banyak
argumentasi yang lebih dari memadai untuk melakukan perubahan secara
substansial terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer.
Politik kewargaan yang menempatkan anggota militer sebagai sesama
warga negara dengan warga sipil lainnya, serta prinsip negara hukum (rechstaat)
yang dipegang oleh Indonesia, mengharuskan ditegakkannya asas kesamaan di muka
hukum (equality before the law).Selain itu, di tataran internasional,
dengan perkembangan peradaban yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi
manusia, sistem peradilan militer sudah mulai mengarah pada satu
prinsip, di mana yurisdiksiperadilan militer harus terbatas pada
pelanggaran tindak pidana militer.
Perbandingan peradilan
militer di negara lain juga menunjukkan adanya satu kecenderungan yang
perlu dipertimbangkan, menyangkut soal penghapusanperadilan militer di
masa damai,“sipilisasi” peradilan militer,pelarangan pengadilanmiliter terhadap
warga sipil, pencegahan masuknya pelanggaran HAM dan kejahatan perang dalam
yurisdiksi peradilan militer, dan lain sebagainya. Karena dengan itu kita
bisa belajar dari pengalaman dan praktek berbangsa dari negara lain, khususnya
dalam pembangunan demokrasi dan hak asasi manusia.
Dari berbagai data yang
didokumentasikan Imparsial, ketidakadilan dalamperadilan militer, bukan
semata-mata pada persoalan proses dan/atau keputusan
pengadilan militer yang tidak memenuhi rasa keadilan publik. Namun
lebih dari itu, dalam sistem peradilan militer, hak-hak tersangka dan
terdakwa kurang dijamin, bahkan cenderung diabaikan. Bagaimanapun juga prajurit
TNI merupakan warga negara yang memiliki hak sebagai yang sama dengan warga
negara lainnya. Sebagai warga negara, meskipun diduga atau terbukti melakukan
kejahatan, bukan berarti dia kehilangan hak-hak dasar yang dimilikinya sebagai
manusia maupun sebagai warga negara.Pengakuan terhadap hak-hak
tersangka/terdakwa dalam peradilan militermasih sangat lemah.Bahkan dalam
beberapa pasal UU No. 31 Tahun 1997 tentangperadilan militer malah secara
tegas membatasi hak-hak tersebut.[3]
Praktek
penyelenggaran peradilan militer di Indonesia juga terlihat mengarah
pada pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan rasa keadilan publik, serta
cenderung tertutup dari kontrol publik.Ketidakadilan dan ketertutupan tersebut
juga melanda aspek-aspek lain dalam sistem peradilan militer, terutama
dalam penggunaan mekanisme koneksitas dan eksistensi Dewan
Kehormatan militer/Dewan Kehormatan Perwira.Dengan demikian harus dilakukan
perubahan terhadap mekanisme hukum yang berlaku di tubuh militer.
Di tataran makro,
reformasi peradilan militer juga sudah merupakan amanat nasional yang
tertuang dalam Tap MPR No.VII Tahun 2007 tentang Peran dan Tugas TNI/Polri dan
UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.Agenda reformasi
keamanan yang termanifestasikan dalam aturan-aturan perundang-undangan di atas
secara tegas telah menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada
kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan
tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
UU No. 31 Tahun 1997
tentang peradilan militer juga memiliki banyak kelemahan sehingga
semakin memperkuat signifikansi revisi terhadapnya.Selain persoalan-persoalan
yang sudah dipaparkan di atas, penempatan aturan mengenai hukum acara
Pidana militer semestinya tidak disatukan dalam UU
tentang peradilan militer. Demikian juga berkaitan dengan telah adanya
aturan mengenai Tata Usaha Negara melalui UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan
Tata Usaha Negara, maka tidak semestinya peradilan militer memiliki
yurisdiksi tersendiri/khusus terhadap tata usaha militer.
Berdasarkan pengalaman sejarah,
amanat reformasi serta perkembangan dan perbandingan internasional, Undang-Undang peradilan
militer yang baru harus memenuhi prinsip-prinsip dasar
tertentu.Prinsip-prinsip dasar yang menyangkut soal yurisdiksi, transparansi,
akuntabilitas, pembatasan kewenangan serta posisi dalam struktur kekuasaan
kehakiman tersebut sudah sepantasnya mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan
hak asasi manusia, dengan tetap mempertahankan wibawaperadilan
militer sebagai mekanisme kontrol internal TNI.
RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
1997 tentang peradilan militer yang sedang dibahas oleh DPR saat ini,
apabila kita kaji dengan mengacu pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi
manusia, masih banyak memiliki kekurangan. RUU RUU Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1997 tentang peradilan militer hanya melakukan
perubahan-perubahan minor dan redaksional terhadap UU No. 31 Tahun
1997peradilan militer, seperti perubahan istilah ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan perubahan dari
“penasehat hukum” menjadi “advokat”. Masukan-masukan serta kritik yang sudah
dikemukakan terhadap RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentangperadilan
militer ini mengarah pada perlunya perubahan yang mendasar terhadap
sistem peradilan militer di Indonesia.[4]
Dari segi organisasional serta
operasional peradilan militer, ada dua persoalan pokok yaitu
kedudukan peradilan militer dalam kekuasaan kehakiman yang
berimplikasi pada pengaruh komando dalam hal ini Mabes TNI dalam peradilan
militer, serta mekanisme beracara dalam peradilan militer yang
disebabkan dari permasalahan organisasional peradilan militer.Oleh karena
itu salah satu poin penting dalam perubahan ini adalah memindahkan Babinkum dan
organisasi peradilan militerdi bawah Departemen Pertahanan, serta
mempertegas kedudukan peradilan militer di tingkat kasasi (di
Mahkamah Agung) sebagai institusi sipil.Dengan demikian seluruh hakim yang ada
di dalam MA, termasuk Hakim Agung militer harus lah berstatus sipil.
Sumber Hukum
Acara Peradilan Militer
1. Sumber Hukum Materiil[5]
Sumber Hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi
kaidah hukum, dan terdiri atas:
a. Perasaan hukum
seseorang atau pendapat umum
b. Agama
c. Kebiasaan, dan
d. Politik Hukum dari
Pemerintah
Sumber hukum materiil yaitu tempat materi hukum itu diambil.Sumber
hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.
2. Sumber
Hukum Formil
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu
peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara
yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku.
Sumber Hukum Formil antara lain:
a. Undang-Undang (Statue)
Undang-Undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.
b. Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang terus dilakukan
berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima
oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian
rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan
sebagai pelanggaran perasaan hukum.
c. Keputusan Hakim
(Yurisprudensi)
Peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia Belanda dahulu
adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang
disingkat A.B. (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk
Indonesia).
d. Traktat (Treaty)
Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (konsensus)
tentang sesuatu hal maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian.Akibat dari
perjanjian itu adalah kedua belah pihak terikat pada isi dari perjanjian yang
disepakatinya.
e. Pendapat Sarjana Hukum
(Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan
dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.Dalam Yurisprudensi
terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seseorang atau beberapa
orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
Asas Hukum acara
Peradilan Militer
asas-asas dalam peradilan militer
diantaranya;[6]
- asas keseimbangan antara
kepentingan militer dengan kepentingan umum.
- asas keseimbangan antara
doelmatigheid dengan rechtsmatigheid
- asas kesatuan komando (unity of
command dan hirarkhi)
- asas komandan bertanggung jawab
penuh terhadap baik buruknya kesatuan yang dipimpin
- asas pertanggungjawaban mutlak
- asas komandan tidak boleh
membiarkan bawahannya melakukan pelanggaran
- asas mendidik
- asas kesederhanaan
- asas cepat
- asas perwira sebagai penyerah
perkara.
[1]Bimo
Adiwicaksono,”hukum acara peradilan
militer”, dalam http://
bimoa diwicaksono. blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]Arian Nurifqhi,”sumber hukum Indonesia”, dalam http://rian-rifqhy.blogspot.com, diakses 5
Desember 2013.
[6]Sadia
Dwi ratmaja,”peradilan militer”,
dalam http://
dwiratmajajusticia blogspot com. blogspot.com,
diakses 5 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar