Senin, 31 Maret 2014

Sumber Hukum


Pengertian Sumber hukum
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum disebut source of law. Perkataan sumber hukum berbeda dengan dasar hukum,landasan hukum ataupun payung hukum. Dasar hukum adalah legal basis atau legal ground yaitu norma hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkan perkataan sumber hukum lebih menunjuk kepada pengertian tempat darimana asalmuasal suatu nilai atau norma tertentu berasal.[1]
Pengertian yang lain bahwa Sumber Hukum
1.      segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
2.      segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu.[2]
Menurut para ahli :
Menurut Hans Kelsen source of law mengandung banyak pengertian. Pertama,yang dapat dipahami sebagai source of law ada dua yaitucustom dan statute. Olehkarena itu source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and statuary creation of law. Kedua, source of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law. Ketiga, source of law dapat juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma, moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli, dansebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hukum atau the source of law.[3]
Menurut Prof. Soedikno ada beberapa arti sumber hukum: Sebagai asas hukum, Hukum terdahulu yang memberi bahan, Dasar berlakunya, Tempat mengetahui hukum, Sebab yang menimbulkan hukum.
Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.[4]
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya.
Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum.Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.

Bentuk-Bentuk Sumber Hukum
1.      Hukum Materiil
Menurut Sudikno Mertokusumo,Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.
Menurut Utrecht adalah perasaan atau keyakinan hokum individu dan masyarakat yang menjadi determinan materiil membentuk hukum danmenentukan isi hukum.Faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.Sumber-sumber hukum materiil dapat ditinjaudari berbagai sudut misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dansebagainya.
2.      Hukum Formal (Formil)
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut. Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat.Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.[5]Sumber hukum formil adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal atau merupakan dasar kekuatan mengikatnya peranan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum (causa efficient dan hukum).[6]
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum Formal adalah :
  1. Undang-undang;
  2. Kebiasaan;
  3. Traktat atau Perjanjian Internasional;
  4. Yurisprudensi;
  5. Doktrin.

1. Undang-undang :Undang-undang di sini identik dengan hukum tertulis (ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Pengertian hukum tertulis sama sekali tidak dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat tulis..dengan perkataan lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai dirumuskan secara tertulis oleh pembentukan hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).Undang-undang dapat dibedakan atas :[7]
  • Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya.
  • Undang-undang dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.
2. Kebiasaan :Dasarnya : Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.[8]

3. Traktat atau Perjanjian Internasional :
Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal.Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional. Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :
  1. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain;
  2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
4. Yurisprudensi : Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan.Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden. Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan.Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
  • Putusan perdamaian;
  • Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
  • Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
  • Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.

5. Doktrin :Doktrin adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut. Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya.

Struktur Peraturan Perundangan

Jenis dan Hierarki
Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
-UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.[9]
-Peraturan Presiden (Perpres)
-Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Undang Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah resmi UUD 1945 adalah:
  • Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus1945 dan diberlakukan kembali dengan  Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal
  • Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
Undang Undang
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
  • Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
  • Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota).Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut TAP MPR No. III/MPR/2000
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah

1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR-RI)    merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3. Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI.
4. Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
b.DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
c.Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah (PP) dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang. 6. Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan.[10]

Asas-asas Peraturan Perundangan
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak.Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama  yaitu asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.[11]
Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto[12], memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
b. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
e. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
f. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas, sebagai berikut:
a. Asas tingkatan hirarkhi;
b. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
d. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e. UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat lex periori).
Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der Vliesdi mana asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.
Asas formal mencakup:[13]
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
b. Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c. Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e. Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
a. Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek),
b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling).
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.[14]
Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :
a. Asas–asas formal:
1. Asas tujuan yang jelas.
2. Asas perlunya pengaturan.
3. Asas organ / lembaga yang tepat.
4. Asas materi muatan yang tepat.
5. Asas dapat dilaksanakan.
6. Asas dapat dikenali.
b. Asas–asas materiil:
1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.
2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
4. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dalam Islam, prinsip-prinsip perumusan peraturan perundang-undangan (qanun) juga telah lama diperkenalkan oleh ahli Islam seperti Al Ghazali, Ibnu al Qayyim al Jauziyah, dan tokoh-tokoh kontemporer lainnya. Beberapa prinsip itu antara lain:
a. Pluralisme (al ta’addudiyyah); suatu prinsip keanekaragaman, di mana setiap peraturan perundang-undangan yang disusun harus menghargai, mengakomodasi keberagaman di suatu komunitas.
b. Nasionalitas (muwathanah); spirit nasionalisme yang melandasi bangunan bangsa Indonesia harus menjadi batu pijak dan poros dalam perumusan kebijakan (meskipun ia berbasis pada syariat Islam).
c. Penegakan hak asasi manusia (iqamat al huquq al Insaniyah); menurut Imam Ghazali adalah bahwa perumusan kebijakan dioreintasikan pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan. hak asasi manusia juga diacu sebagai landasan perumusan materi kebijakan.
Terdapat enam hak yang dikenal dalam disiplin Syariat Islam:
a. Hak untuk hidup (hifdz al nafs aw al hayat)
b. Hak kebebasan beragama (hifdz a din)
c. Hak kebebasan berfikir (hifdz al aqli)
d. Hak properti (hifdz al maal)
e. Hak untuk mempertahankan nama baik (hifdz al irdh)
f. Hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al nasl)
d. Demokratis: secara prinsipil nilai-nilai Islam berkesesuaian (compatibel) dengan nilai-nilai demokrasi. Beberapa di antaranya:
a. Egalitarianisme (al musawah)
b. Kemerdekaan (al hurriyyah)
c. Persaudaraan (al ukhuwwah)
d. Keadilan (al adalah)
e. Musyawarah (al syuro)
f. Kemaslahatan (al mashlahah)
Ibnu al Qayyim al Jauziyah menyebutkan bahwa syariat Islam itu dibangun untk mewujudkan nilai-nilai universal seperti: al mashlahah (kemaslahatan), al adalah (keadilan), al rahmat (kasih sayang), al hikmah (kebijaksanaan).
e. Kesetaraan dan keadilan gender: setiap kebijakan disusun tidak boleh membedakan setiap jenis kelamin. Ia harus mengakomodasi dan mensetarakan gender.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ pembentuk, dan lain-lain. Untuk memudahkan pemahaman, di bawah ini akan diuraikan penjelasan asas-asas itu yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian asas yang harus dipenuhi. Uraian berikut ini sebagian besar mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari uraian para ahli.
2.1. Asas-asas Hukum Umum
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif); peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat. Sebagai contoh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang digunakan untuk mengadili peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Timur yang terjadi pada 1999.
b. Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior); peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi norma dan peraturan perundang-undangan.
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); sebagai contoh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah lex specialis yang mengesampingkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.[15]
2.2. Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah (1) nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di dalam konstitusi; jaminan integritas hukum nasional; dan (3) peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
a. Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
b. Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c. Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.
d. Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
e. Keadilan; memuat misi keadilan.
f. Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g. Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui jaminan hukum.
h. Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara.
i. Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
j. Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya.
k. Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai, akurasi pemecahan masalah.
l. Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
m. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.
n. Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna dan hasil guna.
p. Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah dimengerti dan tidak multitafsir.
q. Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara holistik dan tidak parsial.
r. Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
s. Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan hukum yang fair.
t. Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan.
2.3. Asas formal/ Prinsip-prinsip Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[16]
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Aksessibilitas dan keterbukaan; proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi perencanaan, persiapan, pembentukan, dan pembahasan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.
b.Akuntabilitas; proses peraturan perundangan harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka yang meliputi: akurasi perencanaan kerja, kinerja lembaga legislatif dan eksekutif, serta pembiayaan.
c.Partisipasipublic ; proses pembentukan peraturan perundangan membutuhkan kemampuan menangkap aspirasi dan kekhawatiran publik; kecermatan memahami masalah secara akurat; serta kapasitasnya menemukan titik-titik konsensus antara berbagai pengemban kepentingan tentang suatu isu atau permasalahan, termasuk penyediaan mekanisme partisipasi dan pengelolaan aspirasi.
d. Ketersediaan kajian akademik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus didahului dengan kajian mendalam atas masalah yang dihadapi atau hal-hal yang hendak diatur, yang biasanya dituangkan dalam bentuk draft akademik.
e.Kekeluargaan; proses pengambilan kesepakatan diupayakan dengan jalan musyawarah.
3. Sumber-Sumber Peraturan perundang-undangan
Sumber secara literal berarti tempat keluar, atau tempat di mana sesuatu itu diambil atau berasal.[17] Jika demikian, sumber pembentuk peraturan perundang-undangan adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, keyakinan, dan lain sebagainya yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan norma-norma hukum yang kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
Secara teoritik, sumber peraturan perundang-undangan jika mengacu pada asas hirarkhi adalah bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang di atasnya.Namun demikian, dalam praktiknya, perdebatan dan kerja pembentukan peraturan perundang-undangan bisa mengacu pada segala macam diskursus, keyakinan, agama, dan lain sebagainya.Pada dasarnya, sebagai konsekuensi sosiologis dan keberagaman yang dimiliki oleh suatu bangsa, berbagai kehendak dan aturan yang bersumber pada keyakinan idiologisnya sah-sah saja menjadi sumber hukum. Akan tetapi semua itu harus mengacu pada konsensus yang telah disepakati dan dijadikan state ground norm, norma dasar negara. Indonesia di awal kemerdekaannya hingga kini telah menyepakati bahwa Pancasila adalah hasil dan produk konsensus nasional yang telah disepakati oleh semua elemen bangsa melintasi batas wilayah, idiologi, agama, suku, dan lain sebagainya.[18]
Sumber peraturan perundang-undangan dengan kata lain bisa disebut dengan landasan peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief menyebut tiga kategori landasan:
a. Landasan filosofis, di mana norma-norma yang diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan mendapat justifikasi atau pembenaran secara filosofis.
b. Landasan sosiologis, di mana rumusan norma-norma hukum mencerminkan kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
c. Landasan yuridis, di mana norma-norma yang tertuang merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hirarkhinya lebih tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ pembentuknya; dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan hukum tentang masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.
3.1. Pancasila
Pancasila merupakan pedoman sekaligus ajaran yang telah diakui dan diyakini sebagai pandangan dan falsafah hidup bangsa Indonesia serta sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pancasila sebagai dasar negara adalah mengikat seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila itu memberikan arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasional.Penegasan di atas mengandung arti bahwa secara idiil tatanan masyarakat Indonesia telah dirumuskan dalam nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila.Posisinya yang demikian kuat, Pancasila menjadi sumber bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Di samping sebagai sumber, Pancasila juga merupakan instrumen penyaring nilai, norma, dan keyakinan yang lain yang hendak dijadikan peraturan perundang-undangan nasional. Misalnya sebagian orang hendak menyusun peraturan perundang-undangan berdasarkan nilai tertentu, yang bersumber dari agama dan keyakinan tertentu, di sini tugas Pancasila adalah menakar apakah ia sesuai dengan sila-sila Pancasila atau tidak. Jika tidak sesuai maka demi keutuhan nasional dan konsensus, memilih dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara harus tetap dijaga. Meskipun Pancasila tidak lagi disebut sebagai sumber segala sumber pascalahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, karena isi Pancasila melekat dalam UUD 1945 yang menempati hirarkhi teratas peraturan perundang-undangan, maka sesungguhnya Pancasila tetap merupakan dasar dan inspirasi pembangunan hukum nasional.[19]
3.2. Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 merupakan norma dasar yang harus dipedomani dalam merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan. Ia menempati urutan pertama dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Karakter konstitusi di manapun, ia merupakan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang menuntut penjabaran lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang di bawahnya. Di dalam diri UUD 1945 misalnya, terdapat lebih kurang 53 perintah langusng perumusan peraturan perundang-undangan.Karena itu UUD 1945 tidak hanya mendelegasikan pembentukan perundang-udangan, menuntut atribusi, tapi juga menjadi sumber bagi perumusan peraturan perundang-undangan itu.
3.3. Yurisprudensi
Yurisprudensi atau keputusan-keputusan lembaga peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, juga bisa dijadikan sebagai sumber pembentukan peraturan perundang-undangan. Meskipun keputusan hakim itu perlu diuji kebenarannya, akan tetapi secara umum ijtihad-ijtihad (usaha penemuan hukum, rechfinding) yang dilakukan para hakim bisa kemudian dijadikan sumber bagi perumusan peraturan perundang-undangan.
3.4. Hukum Agama
Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan.Keberadaan agama-agama dan kepercayaan itu diakui keberadaannya oleh konstitusi. Secara sosiologis ia juga memiliki penganut sendiri-sendiri. Setiap agama memiliki ajaran dan norma yang diyakini dan dipeluk oleh pemeluknya masing-masing. Berbagai nilai kebenaran tersimpan di dalam agama-agama itu. Karena keyakinannya, tak pelak, dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan, dipastikan dimensi agama akan merasuk di dalam setiap perspektif dan pendapat pada pembuat peraturan perundang-undangan. Namun demikian, karena tidak semua norma agama dapat dikuailfikasi sebagai norma hukum yang diyakini kebenarannya oleh semua orang, maka kalaupun agama menjadi sumber pembentuk peraturan perundang-undangan, ia harus dipastikan tidak memaksakan norma non hukum dijadikan norma hukum.
Pilihan untuk tidak memaksakan norma non hukum yang bersumber dari agama-agama dan kepercayan adalah sebagai konsekuensi politik dan sosiologis berbangsa dan bernegara. Banyak norma hukum yang terkandung di dalam agama-agama yang bisa diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan, tapi tidak sedikit juga norma non hukum dalam agama-agama dan kepercayaan yang justru lebih mulia dan tetap dipatuhi oleh pemeluknya, dibandingkan jika ia dipaksakan untuk ditampilkan secara formal dalam sebuah kebijakan negara.
3.5. Hukum Adat
Sama dengan agama-agama dan kepercayaan pada uraian di atas, bangsa ini juga memiliki beragama hukum adat yang masih hidup di tengah masyarakat. Hukum adat, kecuali yang sudah menjadi sistem dan diadopsi secara nasional, ia juga tidak bisa semuanya digeneralisir sebagai suatu norma yang dapat ditampilkan di aras publik dan mengikat semua orang. Karena fakta sosiologisnya bangsa Indonesia terdiri dari beragam adat. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan kearifan adat dan nilai serta norma yang dimiliki oleh sebuah komunitas adat dapat diobyektivikasi dan diakui oleh semua orang sehingga ia bisa dikualifikasi sebagai norma hukum, dan kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
3.6. Hukum Internasional
Hukum internasional, baik berupa perjanjian internasional, ratifikasi kovenan dan konvensi yang dikeluarkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau badan internasional lainnya, merupakan sumber atau referensi yang bisa dirujuk dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. Bahkan untuk beberapa kovenan dan konvensi yang sudah diratifikasi, sesungguhnya ia telah mengikat secara hukum (legally binding), yang harus dirujuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.[20]


[1] Alfian,“ pengertian sumber hukum”,dalam  http://ratusan makalah. wordpress. com, diakses 26 september 2013.
[2]Zoel,”sumber hukum dan tertib hukum”, dalam http://vjkeybot. wordpress. com, diakses 26 september 2013.
[3] Alfian Op.cit
[4]Zoel Op.cit
[5]Ayib rosiqin,”sumber hukum formal”, dalam http://ajhieb. blogspot. com, diakses 26 september 2013.
[6]Alfian op.cit
[7]Ayib op.cit
[8]Ibid
[9]Zoel op.cit
[10]Ihshan,”tata urutan perundangan”, dalam http://ihshan07. wordpress. com, diakses 28 september 2013.
[11]Eka Saripudin,”asas-asas dan sumber peraturan perundangan”,dalamhttp:// sosbud. kompasiana. com, diakses 28 september 2013.
[12]Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, “Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, hal 7-11
[13]A. Hamid S Attamimi,”Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Jakarta: Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1990, h. 330
[14]Ibid
[15]Eka Saripudin Op.cit
[16]Ibid
[17]Departemen Pendidikan Nasional,”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, Edisi III, hal 1102
[18]Departemen Pendidikan Nasional Op.cit
[19]Eka saripudin op.cit
[20]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar