Senin, 31 Maret 2014

Sejarah Hukum di Indonesia


1.Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC,Masa Besluiten Regerings , Masa Regeringsreglement,Masa Indische Staatsregeling,dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.[1]
a.      Periode VOC
Pada masa berdagang di Indonesia VOC diberi hak-hak istimewa oleh pemerintah Belanda.Hak istimewa tersebut adalah hak octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang.Karena hak istimewa tersebut, VOC semakin menjadi-jadi dengan memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Belanda kepada penduduk pribumi. Ketentuan hukum tersebut sama dengan hukum Belanda kuno yang sebagian besar merupakan hukum disiplin .
VOCmengumpulkan aturan-aturan yang mulanya tidak disimpandengan baik hingga akhirnya diberi nama Statuta Batavia (1642). Usaha serupa dilakukan lagi pada tahun 1766 dan menghasilkan Statuta Batavia Baru.Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Freijer yang di didalamnya termuat aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam.Selain peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh VOC, pada masa ini pun kaidah-kaidah hukum adat Indonesia tetap dibiarkan berlaku bagi orang-orang bumi putera (pribumi).[2]
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Dari uraian di atas dapat diketahi bahwa ketika VOC berakhir pada 31 desember 1799 ( karena VOC dibubarkan oleh pemerintah belanda) tata hukum yang berlaku pada waktu itu terdiri atas aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan aturan-aturan yang diciptakan oleh gubernur jendral yang berkuasa di daerah kekuasaan VOC. Serta aturan-aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku bagi orang-orang pribumi , yaitu hukum adatnya masing masing.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa.Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri.Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.[3]

b.      Besluiten Regerings (1814-1855)
Pada masa Besluiten Regerings (BR) raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja tersebut diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening atau peraturan pusat. Peraturan pusat berupa keputusan raja maka dinamakan koninklijk besluit.Pengundangannya lewat selebaran yang dilakukan oleh gubernur jendral. Ada dua macam keputusan raja sesuai dengan kebutuhannya.
1.      Ketetapan raja yaitu besluit sebagai tindakan eksekutif raja misalnya ketetapan pengangkatan gubernur jendral.
2.      Ketetapan raja sebagai tindakan legislative, misalnya berbentuk Algemene Verordening atauAlgemene maatregel van bestuur di negeri Belanda.
Raja mengangkat para komisaris jendral yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie (Hindia Belanda).Mereka yang diangkat ialah Elout Buyskes dan Van der Capellen. Para komisaris jendral itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya.Mereka tetep memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yaitu mengenai Landrete dan susunan pengadilan buatan Raffles. Lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi orang-orang pribumi tetap sama digunakan peradilan Inggris begitu pula pelaksanaannya. Dalam usaha untuk memenuhi kekosongan kas Negara Belanda,  Gubernur Jendral Du Bus de Gisigres menerapkan politik agraria dengan cara memperkerjakan orang-orang pribumi yang sedang menjalankan hukuman yang dikenal dengan kerja paksa (dwangs arbeid).
Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata.Pengundangan hukum yang sudah berhasil dikodifikasi itu baru dapat terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838.Setelah itu timbul pemikiran tentang pengkodifikasian hukum perdata bagi orang-orang Belanda yang berada di Hindia Belanda. Pemikiran itu akan diwujudkan sehingga pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri jajahan di Belanda mengangkat komisi undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scholten van Out Haarlem (ketua) dan Mr. J. Schneither serta Mr.J.F.H. van Nes sebagai anggota. Beberapa peraturan yang berhasil ditangani oleh komisi itu dan disempurnakan oleh Mr. H.L.Whicer adalah:
1.      Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Peradilan.
2.      Algemene Bepelingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan.
3.      Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4.      Wetboek van Kooponhandel (WvK) atau KUHD
5.      Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan Tentang Acara Perdata.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tata hukum pada masa Besluiten Regerings terdiri dari peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan.Peraturan tertulis yang tidak dikodifikasi, dan peraturan-peraturan tidak tertulis yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa.[4]
c.        Regerings reglement (Periode liberal Belanda)
Pada tahun 1848 terjadi perubahan Grond Wet (UUD) di negeri Belanda.Perubahan UUD negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap kekuasaan raja, karenaStaten Generaal (Perlemen) campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Perubahan penting yang berkaitan dengan pemerintahan dan perundangan, ialah dengan dicantumkannya Pasal 59 ayat I,II,dan IV Grond Wet yang isinya:
Ayat 1:Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia.
Ayat II dan IV: Aturan tentang kebijaksanaan pemerintah melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang.
Peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh raja denganKoninklijk Besluit-nya, tetapi peraturan itu ditetapkan bersama oleh raja dan perlemen.Dengan demikian, sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional menjadi monarki konstitusional parlementer.[5]
Peraturan tersebut disebut Regeringsreglement Pada tahun 1854 di Hindia Belanda atau disebut juga Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.[6]
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya.Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

d.      Indische Staatsregeling (1926-1942)
Indische Staasregeling (IS) adalah RR yang sudah diperbaharui dan berlaku tanggal 1 Januari 1926 melalui S.1925:415. Pembaruan RR atau perubahan RR menjadi IS ini karena berubahnya pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negeri Belanda pada 1922. Pada masa berlakunya IS ini bangsa Indonesia sudah turut membentuk undang-undang dan turut menentukan nasib bangsanya karena mereka turut dalam volksraad.
Pada pasal 131 IS dapat diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia Belanda pada waktu itu yang ditetapkan dalam pasal 163 IS.
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan.Sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut.
1. Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131 IS adalah hukum perdata, hukum pidana material, dan hukum acara.
a.  Hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah BurgerlijkWetboek danWetboek van Koophandel dengan asas konkordansi.
b.Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa ialah WetboekvanStrafrecht.
c.  Hukum acara yang digunakan ialah Reglement op deBurgerlijk Rechtsvorderingdan Reglement op de Strafvodering . Susunanperadilan yang digunakan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura adalah:
        Residentiegerecht
        Raad van Justitie
       Hooggerechtshof
2.      Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk tidak tertulis. Namun jika pemerintah Hindia Belanda menghendaki lain, hukum dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya. Dengan demikian berlakunya hukum adat tidak mutlak.Keadaan demikian telah dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi yang diberlakukan bagi semua golongan.
Susunan peradilannya adalah:
        Districtsgerecht
        Regentschapsgerecht
        Landraad
3.      Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing :
a.       Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka menurut ketentuan Pasal 11 AB.
b.      Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
c.       WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918, untuk hukum pidana material.
d.      Lembaga pengadilan
        Pengadilan Swapraja
        Pengadilan Agama
        Pengadilan Militer[7]

e.         Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia Belanda dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Indonesia Timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang berkedudukan diMakassar.
2.      Indonesia Barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang berkedudukan di Jakarta.
Peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan di wilayah Hindia Belanda dibuat dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.Dari ketentuan Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/192 dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain tetap menggunakan Indische Staaregeling (IS).
Kemudian pemerintah bala tentara Jepang mengelurkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei No. 25 tahun 1944 dan Gun Seirei No.14 tahun 1942, untuk melengkapi peraturan yang telah ada sebelumnya. Gun Seirei nomor istimewa tahun 1942 dan Osamu Seirei No.25 tahun 1944 memuat aturan-aturan pidana yang umum dan aturan-aturan pidana yang khusus. Gun Seirei No.14 tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
-Masa 1945-1949
Setelah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan tidak tergantung pada bangsa lain. Sehingga Indonesia bebas menentukan nasibnya untuk mengatur negara dan menetapkan tata hukumnya.UUD 1945 ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Sedangkan tata hukum yang berlaku adalah segala peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda, masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang dihasilkan pemerintah Negara Republik Indonesia dari 1945-1949.
-Masa 1949-1950
Masa ini adalah masa berlakunya konstitusi RIS.Pada masa tersebut tata hukum yang berlaku adalah tata hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan yang dinyatakan berlaku pada masa 1945-1949 dan produk peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah Negara yang berwenang untuk itu selama kurun waktu 27-12-1949 sampai dengan 16-08-1950.
-Masa 1950-1959
Tata hukum yang diberlakukan pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, kemudian ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah Negara selama kurun waktu dari 17-08-1950 sampai dengan 04-07-1959.
-Masa 1959-Sekarang
Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari segala peraturan yang berlaku pada masa 1950-1959 dan yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ditambah dengan berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.[8]
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
 2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan colonial.
pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
 1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;
2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan,
Dan pembaharuan yang dilakukan adalah:
 1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
2) Unifikasi kejaksaan;
3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

2.         Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a.         Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b.         Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.[9]
3.         Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a.         Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;
 3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b.         Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4.         Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
 2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.



[1]Shella paditadharma,”sejarah hukum indonesia”,dalamhttp://shellapaditadharma. blogspot. com, diakses 21 september 2013.
[2]Muhammad ikhsan, “tata hukum atau sejarah tata hukum”, dalam http://ikhsanm. blogspot. com, diakses 21 september 2013.
[3]Rahmi Zantia,”sejarah hukum di Indonesia”, dalam http://rahmizantiaa. blogspot. com, diakses 21 september 2013.
[4] Ikhsan Op.cit
[5]Shella ,Op.cit
[6]Ikhsan, Op.cit
[7]Ibid
[8] Shella Op.cit
[9]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar