Senin, 31 Maret 2014

Hukum Adat


Pengertian
Hukum Adat adalah hukum/ peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang hanya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis karena peraturan-peraturannya tidak tertulis. Dalam hukum adat dikenal juga Masyarakat Hukum adat yaitu sekumpulan orang yang di ikat oleh tatanan hukum/ peraturan adat sebagai warga bersama dalam satu persekutuan hukum yang tumbuh karena  dasar keturunan ataupun kesamaan lokasi tempat tinggal.
Setiap bangsa di dunia mempunyai adat kebiasaan masing-masing antara adat bangsa yang satu dan bangsa yang lain tidaklah sama.  Karena perbedaan/ ketidak samaan tersebutlah adat dapat membuat kita saling mengenal identitas suatu perkumpulan adat.  Oleh karena itu adat adalah suatu pencerminan diri pada kepribadian sebuah bangsa.[1]

Prof. DR. Soekanto
Dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” ia sampaikan bahwa  : “Kompleks Adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan , bersifat paksaan (dwang) dan mempunyai akibat hukum (Rechtsgevolg)…..”
      Kesimpulannya menurut beliau Hukum Adat itu mempunyai cirri-ciri :
-  Tidak dibukukan
-  Tidak dikodifikasikan
-  Bersifat paksaan dan
-  Mempunyai akibat hukum[2]

Prof. DR. Soepomo
Pendapat Supomo dalam beberapa catatan mengenai “Kedudukan Hukum Adat”, diantaranya ia menulis :
-Dalam Tata hukum baru  Indonesia istilah Hukum Adat ini dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (non-statutory law)
-Hukum yang hidup sebgai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan-dewan Propinsi dan sebagainya;
-Hukum yang timbul karena putusan-putusan Hakim (Judgemade Law);
-Hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup  baik di kota-kota maupun di desa-desa (Customary Law).

Ter Haar.
Ter Haar membuat dua perumusan, yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan Hukum Adat itu, yaitu:
Pertama:pidato dies tahun 1930,dengan judul“Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis. Hukum Adat lahir dari dan diperlihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat umum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan, keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan seapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.
Kedua, Dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek, “Hukum Adat Hindia Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran”
 Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat-surat perintah Raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris di sini terbatas pada dua kekuasaan yaitu Eksekutif dan Yudikatif. Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tetapi juga Kepala Adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran Beslissingenleer (ajaran keputusan).[3]

Van Vollenhoven.
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu: “Hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu “Adat”).
Positif yaitu hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan kini. Sanksi yaitu reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma (hukum). Kodifikasi yaitu pembukuan sistematis suatu daerah/lapangan/bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (yang diatur segala unsurnya) dan tuntas (yang diatur semua soal yang mungkin timbul).

Sumber Hukum Adat

Dalam membicarakan sumber hukum (Adat) dianggap penting terlebih dahulu dibedakan atas dua pengertian sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron.
Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah konsep tentang keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti dimana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain perkataan sumber dimana asas-asas hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam masyarakat sehingga dengan mudah dapat diketahui.
Kenbron itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas dasar pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum dalam arti Kenbron itu adalah:
1.Adat kebiasaan.
2.Yurisprudensi.
3.Norma-norma Hukum Islam yang telah meresap ke dalam Adat istiadat masyarakatindonesia asli.
4.Kitab-kitab Hukum Adat.
5.Buku-buku Standar tentang Hukum Adat.
6.Pendapat Ahli Hukum Adat.
Dengan demikian hukum adat dapat ditemukan baik dalam adat kebiasaan maupun dalam tulisan-tulisan yang khusus memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum atau mungkin pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat.[4]

Asas Hukum Adat

Asas Religio Magis
(Magisch-Religieus) adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.
Kuntjaranigrat menerangkan bahwa alam pikiran religiomagis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, rokh-rokh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda.
Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luas biasa, binatang-binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai “magische kracht” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau menolak bahaya gaib.
Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau dihindarkan dengan berbagai macam pantangan.
Bushar Muhammmad tentang pengertian religio-magis mengemukakan kata “participerend cosmisch” yang mengandung pengertian komplek. Orang Indonesia pada dasarnya berpikir, merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenaga-tenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tubuhan besar dan kecil, benda-benda; dan semua tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rokhaniah, “participatie”, dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage).[5]

Asas Komun (Commun)
Asas Komun berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas korum merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual. Dalam masyarakat semacam itu individualitas terdesak ke belakang. Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan Desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, dengan khidmat.[6]

Asas Contant (Tunai)
Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu mempunyai arti logis satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.

Asas Konkrit ( Visual )
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.Di dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi ujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis).Contoh: Panjer dalam maksud akan melakukan perjanjian jual beli atau memindahkan hak atas tanah; peningset (panyangcang) dalam pertunangan atau akan melakukan perkawinan; membalas dendam terhadap seseorang dengan membuat patung, boneka atau barang lain, lalu barang itu dimusnahkan, dibakar, dipancung.

Asas Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.[7]



[1]Ahmad Supriyadi,”pengertian hukum adat”,dalam http://temukanpengertian. blogspot. com, diakses 18 November 2013.
[2]Khayatudin,”pengertian hukum adat”, dalam http://khayatudin.blogspot.com, diakses 18 November 2013.

[3]Dwi Yani,”sumber dan asas hukum  adat”,dalam http://hukum-dan-umum. blogspot. com, diakses 18 November 2013.

[4]Elmiqra,”definisi dan sumber hukum adat”,dalam http://elmiqra. blogspot. com, diakses 18 November 2013.
[5]Idahlina,”asas hukum adat”, dalam http://idahlania.wordpress.com, diakses 18 November 2013.

[6]Kholek Joxzin,”asas dalam hukum perdata”, dalam http://kholekjoxzin. blogspot. com, diakses 18 November 2013.
[7]Dwi Yani Op.cit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar