Senin, 31 Maret 2014

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


Pengertian
Mahkamah konstitusi adalah sebuah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan mahkamah agung. Hari lahir Mahkamah konstitusi sendiri yaitu pada tanggal 13 agustus 2003 dan MK sendiri diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI dan Undang Undang nomor 24 tahun 2003 mengenai Mahkamah konstitusi.
Yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945/ Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK yakni ?
 Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
 Memutus Sengketa kewenangan antara lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
 Memutus sengketa hasil Pemilihan umum
 Memutus Pembubaran Partai Politik
 Memberikan Putusan terhadap usulan DPR terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepala negara dan wakil kepala negara[1]

Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

·      UUD 1945
·      UU NO. 24 TAHUN 2003 (dan UU terkait);
·      PMK-PMK
·      PUTUSAN MK
·      Konvensi/Perjanjian Internasion• PMK Nomor 006/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
·      PMK Nomor 008/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
·      PMK Nomor 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
·      PMK Nomor 16/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
·      PMK Nomor 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
·      PMK Nomor 18/PMK/2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
·      PMK Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib Persidangan.
·      PMK Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Memahami sumber-sumber hukum acara  Mahkamah Konstitusi di atas, maka tampak sejumlah ketentuan yang menjadi sumber hukum acara pada Mahkamah Konstitusi yang meangacu pada kewenanga mengadili dari Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berwenang memutus
  • Pengujian UU terhadap UUD;
  • Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara;
  • Perselisihan Hasil Pemilu;
  • Pembubaran Partai Politik;
  • Pendapat DPR mengenai Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wapres.

Dari setiap kewenangan mengadili yang dimiliki Mahkamah Konstitusi itu terdapat kekhususannya hukum acaranya masing-masing.[2]

Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman memiliki panduan dalam menjalankan persidangan. Panduan tersebut berupa asas-asas hukum yang digunakan sebagai pegangan bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya mengawal konstitusi. Asas tersebut meliputi:

1.Persidangan terbuka untuk umum
Pasal 19 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini juga berlaku bagi persidangan pengujian undang-undang. Dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa persdiangan terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan yang terbuka merupakan sarana pengawasan secara langsung oleh rakyat. Rakyat dapat menilai kinerja para hakim dalam memutus sengketa konstitusional.

2. Independen dan imparsial
MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka. Sifat mandiri dan merdeka berkaitan dengan sikap imparsial (tidak memihak). Sikap independen dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar menciptakan peradilan yang netral dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Sekaligus sebagai upaya pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain. Selain itu hakim MK juga menjunjung tinggi konstitusi sebagai bagian dalam sengketa pengujian undang-undang. Apabila hakim tidak dapat menempatkan dirinya secara imbang merupakan penodaan terhadap konstitusi.

3. Peradilan cepat, sederhana, dan murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam prakteknya MK membuat terobosan besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas video conferrence. Hal ini merupakan bagian dari upaya MK mewujudkan persidangan yang efisien.

4. Putusan bersifat erga omnes
Berbeda dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian undang-undang di MK merupakan peradilan pada ranah hukum publik. Sifat peradilam di MK adalah erga omnes yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)
Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat hukum yang ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan. Setiap pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam hal mengajukan pembuktian guna menguatkan dalil masing-masing.

6. Hakim aktif dan pasif dalam persidangan
Karakteristik peradilan konstitusi adalah kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan. Sehingga proses persidangan tidak dapat digantungkan melulu pada inisiatif para pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dan dalam hal demikian hakim bersifat pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk melakukan pengujian tanpa permohonan.

7. Ius curia novit
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan secara luas sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum (rechts vinding) untuk menemukan keadilan.[3]



[1]Supriyadiadhi,”hukum acara mahkamah konstitusi”, dalam http://suriyadiadhi.blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

[2]Syahri,”Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, dalam http://teori-nyata.blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

[3]Fatahilla,”asas hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, dalam http://fatahilla. blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

Hukum Acara Pengadilan Militer


Pengertian

Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan.Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara.Untuk itu, hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki mekanisme peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer.[1]
Di Indonesia, peradilan militer diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentangperadilan militer. Dalam UU tersebut, diatur beberapa hal mengenai yurisdiksiperadilan militer, struktur organisasi dan fungsi peradilan militer, hokum acaraperadilan militer dan acara koneksitas, serta hukum tata usaha militer.
Seiring dengan reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998, muncul wacana mengenai perlunya reformasi sektor keamanan di Indonesia. Reformasi sektor keamanan ini pada intinya bertujuan untuk menciptakan good governance di sektor keamanan  serta  menciptakan lingkungan yang aman dan tertib, sehingga dapat menopang tujuan negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Dengan diperkuat oleh wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang sudah muncul jauh hari sebelumnya, salah satu yang didorong untuk dilakukannya perubahan mendasar adalah sistem peradilan militer.
Otoritarianisme Orde Baru yang ditopang oleh kekuasaan militer, selain melahirkan pelanggaran hak asasi manusia, juga menciptakan sebuah sistem hukum yang membentengi tindak kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh anggota militer.Akibatnya, meskipun Orde Baru sudah runtuh namun upaya untuk membawa prajurit militer yang melakukan tindak pidana, khususnya tindak pidana pelanggaran HAM dan korupsi, selalu mentok di tengah jalan.
Di sisi lain, dalam sistem peradilan militer tidak ada kejelasan mengenai jaminan terhadap hak-hak sipil bagi anggota militer ketika mereka berurusan denganperadilan militer. Hak untuk didampingi pengacara, hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan/atau dakwaan, hak untuk tidak diintimidasi dan disiksa, hak untuk menghubungi dan bertemu keluarga, dan lain-lain, sama sekali tidak diatur dalam sistem peradilan militer kita. Prajurit atau anggota militer bagaimanapun juga merupakan warga negara (citizens in uniform). Dengan demikian, mereka juga memiliki hak yang sama di muka hukum dengan warga negara yang lain, di mana negara harus menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Ketika seorang anggota militer melakukan sebuah tindak pidana, ada beberapa jalur hukum yang mereka miliki. Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997, apapun bentuk tindak pidana yang dilakukan maka mereka akan diadili di peradilan militer. Kalaupun ada unsur tindak pidana umum di dalamnya, atau tindak pidana tersebut dilakukan bersama-sama dengan warga sipil, maka harus digunakan hukum acara koneksitas. Di mana dalam hukum acara koneksitas ini, harus dibentuk sebuah tim koneksitas yang mensyaratkan adanya keputusan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan serta persetujuan dari Menteri Kehakiman.
Dalam penanganan kasus pelanggaran HAM, penggunaan perkara koneksitas telah menutup unsur-unsur pelanggaran berat HAM serta menghilangkan keberadaan prinsip-prinsip universal dari hukum internasional seperti pertanggungjawaban komando dan perintah atasan (command responsibility and superior order).Hal ini disebabkan sering kali atasan dalam tingkat perwira tinggi yang masuk dalam rantai komando dan berhak memberikan perintah justru tidak menjadi orang yang bertanggungjawab melainkan menjadi atasan yang berhak menghukum (Ankum).
Fungsi Ankum dan juga Papera yang ada di dalam sistem peradilan militer, seperti disinggung di atas, menjadi satu persoalan tersendiri dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia. Ankum dan Papera punya kewenangan untuk menentukan mekanisme hukum yang akan diterapkan terhadap sebuah tindak pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer. Ankum dan Papera memiliki otoritas untuk menentukan apakah sebuah tindak pelanggaran ditempatkan sebagai pelanggaran disiplin, tindak pidana militer atau tindak pidana umum.Bahkan ketika sebuah pelanggaran hanya dianggap sebagai sebuah pelanggaran disiplin, Ankum dapat langsung menentukan dan memberikan hukuman. Papera, berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 punya diskresi untuk menentukan apakah sebuah hasil penyidikan akan diteruskan ke tingkat penuntutan atau tidak. Luasnya kewenangan kedua institusi tersebut serta kecenderungan lingkungan militer yang eksklusif, membuka peluang yang sangat luas bagi terjadinya penutupan/pemberhentian terhadap kasus-kasus yang sebenarnya merupakan wilayah hukum pidana umum.
Di lingkungan militer juga ada institusi DKM/DKP.Institusi ini sebenarnya dibentuk untuk memelihara kehormatan Korps Perwira dan mengurusi pelanggaran tabiat dan disiplin perwira.Namun dalam prakteknya banyak mengambil alih perkara-perkara tindak pidana yang dilakukan perwira militer, sehingga menutup ruang bagi sistem peradilan yang ada untuk menjalankan fungsinya.
Mekanisme-mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer di atas sepenuhnya merupakan pengambilalihan mekanisme hukum yang sepatutnya berlaku ke dalam mekanisme penyelesaian internal militer.Penyelesaian internal inilah yang terbukti melahirkan impunitas dan ketidakadilan atas sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer.[2]
Di sisi lain, persoalan peradilan militer semakin kompleks dengan adanya ketidakjelasan dan saling tumpang tindih antara tindak pidana militer, tindak pidana umum dan pelanggaran disiplin militer. Selain itu, aturan mengenai tindak pidanamiliter berdasar pada UU No. 39 Tahun 1947 yang merupakan hasil adopsi dari Kitab Undang-Undang hukum Pidana militer Belanda ketika masih menjajah Indonesia. Dengan adanya rencana untuk melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang hukum Pidana yang juga dianggap sudah teidak relevan dengan perkembangan masyarakat, maka sudah sepantasnya juga dilakukan perubahan terhadap KUHPM agar sesuai dengan semangat zaman.
Upaya untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sudah mulai dilakukan sejak tahun 2000, ketika DPR menyusun sebuah draft RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Ketika akhirnya masuk pembahasan melalui Pansus, muncul perbedaan pendapat antara DPR dengan Pemerintah.Selama satu tahun pembahasan di tingkat Pansus, Pemerintah dan DPR masih berkutat pada persoalan kompetensi/yurisdiksi dari peradilan militer.Persoalan yurisdiksi ini baru mencair dengan adanya pernyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Perdebatan panjang dalam pembahasan RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi mengingat sudah banyak argumentasi yang lebih dari memadai untuk melakukan perubahan secara substansial terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Politik kewargaan yang menempatkan anggota militer sebagai sesama warga negara dengan warga sipil lainnya, serta prinsip negara hukum (rechstaat) yang dipegang oleh Indonesia, mengharuskan ditegakkannya asas kesamaan di muka hukum (equality before the law).Selain itu, di tataran internasional, dengan perkembangan peradaban yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, sistem peradilan militer sudah mulai mengarah pada satu prinsip, di mana yurisdiksiperadilan militer harus terbatas pada pelanggaran tindak pidana militer.
Perbandingan peradilan militer di negara lain juga menunjukkan adanya satu kecenderungan yang perlu dipertimbangkan, menyangkut soal penghapusanperadilan militer di masa damai,“sipilisasi” peradilan militer,pelarangan pengadilanmiliter terhadap warga sipil, pencegahan masuknya pelanggaran HAM dan kejahatan perang dalam yurisdiksi peradilan militer, dan lain sebagainya. Karena dengan itu kita bisa belajar dari pengalaman dan praktek berbangsa dari negara lain, khususnya dalam pembangunan demokrasi dan hak asasi manusia.
Dari berbagai data yang didokumentasikan Imparsial, ketidakadilan dalamperadilan militer, bukan semata-mata pada persoalan proses dan/atau keputusan pengadilan militer yang tidak memenuhi rasa keadilan publik. Namun lebih dari itu, dalam sistem peradilan militer, hak-hak tersangka dan terdakwa kurang dijamin, bahkan cenderung diabaikan. Bagaimanapun juga prajurit TNI merupakan warga negara yang memiliki hak sebagai yang sama dengan warga negara lainnya. Sebagai warga negara, meskipun diduga atau terbukti melakukan kejahatan, bukan berarti dia kehilangan hak-hak dasar yang dimilikinya sebagai manusia maupun sebagai warga negara.Pengakuan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam peradilan militermasih sangat lemah.Bahkan dalam beberapa pasal UU No. 31 Tahun 1997 tentangperadilan militer malah secara tegas membatasi hak-hak tersebut.[3]
Praktek penyelenggaran peradilan militer di Indonesia juga terlihat mengarah pada pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan rasa keadilan publik, serta cenderung tertutup dari kontrol publik.Ketidakadilan dan ketertutupan tersebut juga melanda aspek-aspek lain dalam sistem peradilan militer, terutama dalam penggunaan mekanisme koneksitas dan eksistensi Dewan Kehormatan militer/Dewan Kehormatan Perwira.Dengan demikian harus dilakukan perubahan terhadap mekanisme hukum yang berlaku di tubuh militer.
Di tataran makro, reformasi peradilan militer juga sudah merupakan amanat nasional yang tertuang dalam Tap MPR No.VII Tahun 2007 tentang Peran dan Tugas TNI/Polri dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.Agenda reformasi keamanan yang termanifestasikan dalam aturan-aturan perundang-undangan di atas secara tegas telah menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer juga memiliki banyak kelemahan sehingga semakin memperkuat signifikansi revisi terhadapnya.Selain persoalan-persoalan yang sudah dipaparkan di atas, penempatan aturan mengenai hukum acara Pidana militer semestinya tidak disatukan dalam UU tentang peradilan militer. Demikian juga berkaitan dengan telah adanya aturan mengenai Tata Usaha Negara melalui UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, maka tidak semestinya peradilan militer memiliki yurisdiksi tersendiri/khusus terhadap tata usaha militer.
Berdasarkan pengalaman sejarah, amanat reformasi serta perkembangan dan perbandingan internasional, Undang-Undang peradilan militer yang baru harus memenuhi prinsip-prinsip dasar tertentu.Prinsip-prinsip dasar yang menyangkut soal yurisdiksi, transparansi, akuntabilitas, pembatasan kewenangan serta posisi dalam struktur kekuasaan kehakiman tersebut sudah sepantasnya mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, dengan tetap mempertahankan wibawaperadilan militer sebagai mekanisme kontrol internal TNI.
RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer yang sedang dibahas oleh DPR saat ini, apabila kita kaji dengan mengacu pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, masih banyak memiliki kekurangan. RUU RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer hanya melakukan perubahan-perubahan minor dan redaksional terhadap UU No. 31 Tahun 1997peradilan militer, seperti perubahan istilah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan perubahan dari “penasehat hukum” menjadi “advokat”. Masukan-masukan serta kritik yang sudah dikemukakan terhadap RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentangperadilan militer ini mengarah pada perlunya perubahan yang mendasar terhadap sistem peradilan militer di Indonesia.[4]
Dari segi organisasional serta operasional peradilan militer, ada dua persoalan pokok yaitu kedudukan peradilan militer dalam kekuasaan kehakiman yang berimplikasi pada pengaruh komando dalam hal ini Mabes TNI dalam peradilan militer, serta mekanisme beracara dalam peradilan militer yang disebabkan dari permasalahan organisasional peradilan militer.Oleh karena itu salah satu poin penting dalam perubahan ini adalah memindahkan Babinkum dan organisasi peradilan militerdi bawah Departemen Pertahanan, serta mempertegas kedudukan peradilan militer di tingkat kasasi (di Mahkamah Agung) sebagai institusi sipil.Dengan demikian seluruh hakim yang ada di dalam MA, termasuk Hakim Agung militer harus lah berstatus sipil.
Sumber Hukum Acara Peradilan Militer

1.    Sumber Hukum Materiil[5]
Sumber Hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum, dan terdiri atas:
a.       Perasaan hukum seseorang atau pendapat umum
b.      Agama
c.       Kebiasaan, dan
d.      Politik Hukum dari Pemerintah
           
Sumber hukum materiil yaitu tempat materi hukum itu diambil.Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.
2.         Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku.
Sumber Hukum Formil antara lain:
a.       Undang-Undang (Statue)
Undang-Undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.
b.      Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang terus dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan  dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum.
c.       Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
Peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia Belanda dahulu adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat A.B. (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia).
d.      Traktat (Treaty)
Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (konsensus) tentang sesuatu hal maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian.Akibat dari perjanjian itu adalah kedua belah pihak terikat pada isi dari perjanjian yang disepakatinya.
e.      Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.Dalam Yurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.

Asas Hukum acara Peradilan Militer

asas-asas dalam peradilan militer diantaranya;[6]
- asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan umum.
- asas keseimbangan antara doelmatigheid dengan rechtsmatigheid
- asas kesatuan komando (unity of command dan hirarkhi)
- asas komandan bertanggung jawab penuh terhadap baik buruknya kesatuan yang dipimpin
- asas pertanggungjawaban mutlak
- asas komandan tidak boleh membiarkan bawahannya melakukan pelanggaran
- asas mendidik
- asas kesederhanaan
- asas cepat
- asas perwira sebagai penyerah perkara.



[1]Bimo Adiwicaksono,”hukum acara peradilan militer”, dalam http:// bimoa diwicaksono. blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]Arian Nurifqhi,”sumber hukum Indonesia”, dalam http://rian-rifqhy.blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.
[6]Sadia Dwi ratmaja,”peradilan militer”, dalam http:// dwiratmajajusticia blogspot com. blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

Hukum Acara Pengadilan Agama


Pengertian
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”
Pengertian Hukum Acara Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimanammelaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).[1]

Sebelum membahas perihal pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, akan dikemukanan terlebih dahulu tentang pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perkara perdata Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat Islam yang mengatur tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”.
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”. 
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh[2]

Sumber Hukum Acara Pengadilan Agama

A.        UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Dan semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.[3]

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

B.     UU No. 1 tahun 1974
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material.
2.      Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
3.      Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
4.      Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
5.      Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
6.      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

B.         UU No. 14/1985 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 5/2004[4]
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung dan hakim agung paling banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda tata usahanegara.Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di sampingguna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga didasarkan atas Undang-Undangmengenai kekuasaan kehakiman baru yang menggantikan Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimansebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.

Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentangpenegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agungantara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian. 

D. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 3/2006[5]

Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.

Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.
Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

E. PP No. 9 Tahun 1975[6]
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah pencatatan perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.
Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut.

F. HIR, Rbg, dan RV
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia danbangsa Timur Asing di Jawa dan Madura.

Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam reglemen ini memuat:
1. Hal melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan polisi yang Lain
2. Hal mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri.

RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)
Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam reglemen ini memuat:
1.      Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama menjadi wewenang pengadilan Negeri yang  meliputi:
·                     Pemeriksaan di Sidang pengadilan
·                     Musyawarah dan Keputusan pengadilan
·                     Banding.
·                     Pelaksanaan keputusan hukum
·                     Beberapa acara khusus
·                     Izin berperkara tanpa biaya
    2. Bukti dalam perkara perdata

RV (Reglement of de Rechtsvordering)
RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg.

Asas Hukum Acara Pengadilan Agama

1.      Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
a)      Asas Bebas Merdeka[7]
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisialkecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
b)      Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c)      Asas Ketuhanan
        Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d)     Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk  kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
e)      Asas Non Ekstra Yudisial[8]
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
f)       Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
2.      Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama[9]
1)      Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a.       Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b.      Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c.       Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
2)      Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3)      Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
4)      Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a.       Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equality before the law”.
b.      Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c.       Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
5)      Asas “Aktif” memberi bantuan[10]
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6)      Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7)      Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8)      Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9)      Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.



[1]Zoel,”hukum acara peradilan agama”, dalam http://vjkeybot.wordpress.com, diakses 5 Desember 2013.

[2]Lina Sudyawatidiantara,”asas dan sumber hukum acara peradilan”, dalam http:// linasudyawatidiantara. blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

[3] Ilham Irwansyah,”sumber hukum acara peradilan agama”, dalam http://ilham-irwansyah.blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7]Sanfuristas,”asas dan sumber hukum acara peradilan agama”, dalam http://sanfuristas.blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid