Senin, 31 Maret 2014

Hukum Acara Pengadilan Militer


Pengertian

Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan.Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara.Untuk itu, hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki mekanisme peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer.[1]
Di Indonesia, peradilan militer diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentangperadilan militer. Dalam UU tersebut, diatur beberapa hal mengenai yurisdiksiperadilan militer, struktur organisasi dan fungsi peradilan militer, hokum acaraperadilan militer dan acara koneksitas, serta hukum tata usaha militer.
Seiring dengan reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998, muncul wacana mengenai perlunya reformasi sektor keamanan di Indonesia. Reformasi sektor keamanan ini pada intinya bertujuan untuk menciptakan good governance di sektor keamanan  serta  menciptakan lingkungan yang aman dan tertib, sehingga dapat menopang tujuan negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Dengan diperkuat oleh wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang sudah muncul jauh hari sebelumnya, salah satu yang didorong untuk dilakukannya perubahan mendasar adalah sistem peradilan militer.
Otoritarianisme Orde Baru yang ditopang oleh kekuasaan militer, selain melahirkan pelanggaran hak asasi manusia, juga menciptakan sebuah sistem hukum yang membentengi tindak kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh anggota militer.Akibatnya, meskipun Orde Baru sudah runtuh namun upaya untuk membawa prajurit militer yang melakukan tindak pidana, khususnya tindak pidana pelanggaran HAM dan korupsi, selalu mentok di tengah jalan.
Di sisi lain, dalam sistem peradilan militer tidak ada kejelasan mengenai jaminan terhadap hak-hak sipil bagi anggota militer ketika mereka berurusan denganperadilan militer. Hak untuk didampingi pengacara, hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan/atau dakwaan, hak untuk tidak diintimidasi dan disiksa, hak untuk menghubungi dan bertemu keluarga, dan lain-lain, sama sekali tidak diatur dalam sistem peradilan militer kita. Prajurit atau anggota militer bagaimanapun juga merupakan warga negara (citizens in uniform). Dengan demikian, mereka juga memiliki hak yang sama di muka hukum dengan warga negara yang lain, di mana negara harus menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Ketika seorang anggota militer melakukan sebuah tindak pidana, ada beberapa jalur hukum yang mereka miliki. Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997, apapun bentuk tindak pidana yang dilakukan maka mereka akan diadili di peradilan militer. Kalaupun ada unsur tindak pidana umum di dalamnya, atau tindak pidana tersebut dilakukan bersama-sama dengan warga sipil, maka harus digunakan hukum acara koneksitas. Di mana dalam hukum acara koneksitas ini, harus dibentuk sebuah tim koneksitas yang mensyaratkan adanya keputusan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan serta persetujuan dari Menteri Kehakiman.
Dalam penanganan kasus pelanggaran HAM, penggunaan perkara koneksitas telah menutup unsur-unsur pelanggaran berat HAM serta menghilangkan keberadaan prinsip-prinsip universal dari hukum internasional seperti pertanggungjawaban komando dan perintah atasan (command responsibility and superior order).Hal ini disebabkan sering kali atasan dalam tingkat perwira tinggi yang masuk dalam rantai komando dan berhak memberikan perintah justru tidak menjadi orang yang bertanggungjawab melainkan menjadi atasan yang berhak menghukum (Ankum).
Fungsi Ankum dan juga Papera yang ada di dalam sistem peradilan militer, seperti disinggung di atas, menjadi satu persoalan tersendiri dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia. Ankum dan Papera punya kewenangan untuk menentukan mekanisme hukum yang akan diterapkan terhadap sebuah tindak pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer. Ankum dan Papera memiliki otoritas untuk menentukan apakah sebuah tindak pelanggaran ditempatkan sebagai pelanggaran disiplin, tindak pidana militer atau tindak pidana umum.Bahkan ketika sebuah pelanggaran hanya dianggap sebagai sebuah pelanggaran disiplin, Ankum dapat langsung menentukan dan memberikan hukuman. Papera, berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 punya diskresi untuk menentukan apakah sebuah hasil penyidikan akan diteruskan ke tingkat penuntutan atau tidak. Luasnya kewenangan kedua institusi tersebut serta kecenderungan lingkungan militer yang eksklusif, membuka peluang yang sangat luas bagi terjadinya penutupan/pemberhentian terhadap kasus-kasus yang sebenarnya merupakan wilayah hukum pidana umum.
Di lingkungan militer juga ada institusi DKM/DKP.Institusi ini sebenarnya dibentuk untuk memelihara kehormatan Korps Perwira dan mengurusi pelanggaran tabiat dan disiplin perwira.Namun dalam prakteknya banyak mengambil alih perkara-perkara tindak pidana yang dilakukan perwira militer, sehingga menutup ruang bagi sistem peradilan yang ada untuk menjalankan fungsinya.
Mekanisme-mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer di atas sepenuhnya merupakan pengambilalihan mekanisme hukum yang sepatutnya berlaku ke dalam mekanisme penyelesaian internal militer.Penyelesaian internal inilah yang terbukti melahirkan impunitas dan ketidakadilan atas sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer.[2]
Di sisi lain, persoalan peradilan militer semakin kompleks dengan adanya ketidakjelasan dan saling tumpang tindih antara tindak pidana militer, tindak pidana umum dan pelanggaran disiplin militer. Selain itu, aturan mengenai tindak pidanamiliter berdasar pada UU No. 39 Tahun 1947 yang merupakan hasil adopsi dari Kitab Undang-Undang hukum Pidana militer Belanda ketika masih menjajah Indonesia. Dengan adanya rencana untuk melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang hukum Pidana yang juga dianggap sudah teidak relevan dengan perkembangan masyarakat, maka sudah sepantasnya juga dilakukan perubahan terhadap KUHPM agar sesuai dengan semangat zaman.
Upaya untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sudah mulai dilakukan sejak tahun 2000, ketika DPR menyusun sebuah draft RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Ketika akhirnya masuk pembahasan melalui Pansus, muncul perbedaan pendapat antara DPR dengan Pemerintah.Selama satu tahun pembahasan di tingkat Pansus, Pemerintah dan DPR masih berkutat pada persoalan kompetensi/yurisdiksi dari peradilan militer.Persoalan yurisdiksi ini baru mencair dengan adanya pernyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Perdebatan panjang dalam pembahasan RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi mengingat sudah banyak argumentasi yang lebih dari memadai untuk melakukan perubahan secara substansial terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Politik kewargaan yang menempatkan anggota militer sebagai sesama warga negara dengan warga sipil lainnya, serta prinsip negara hukum (rechstaat) yang dipegang oleh Indonesia, mengharuskan ditegakkannya asas kesamaan di muka hukum (equality before the law).Selain itu, di tataran internasional, dengan perkembangan peradaban yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, sistem peradilan militer sudah mulai mengarah pada satu prinsip, di mana yurisdiksiperadilan militer harus terbatas pada pelanggaran tindak pidana militer.
Perbandingan peradilan militer di negara lain juga menunjukkan adanya satu kecenderungan yang perlu dipertimbangkan, menyangkut soal penghapusanperadilan militer di masa damai,“sipilisasi” peradilan militer,pelarangan pengadilanmiliter terhadap warga sipil, pencegahan masuknya pelanggaran HAM dan kejahatan perang dalam yurisdiksi peradilan militer, dan lain sebagainya. Karena dengan itu kita bisa belajar dari pengalaman dan praktek berbangsa dari negara lain, khususnya dalam pembangunan demokrasi dan hak asasi manusia.
Dari berbagai data yang didokumentasikan Imparsial, ketidakadilan dalamperadilan militer, bukan semata-mata pada persoalan proses dan/atau keputusan pengadilan militer yang tidak memenuhi rasa keadilan publik. Namun lebih dari itu, dalam sistem peradilan militer, hak-hak tersangka dan terdakwa kurang dijamin, bahkan cenderung diabaikan. Bagaimanapun juga prajurit TNI merupakan warga negara yang memiliki hak sebagai yang sama dengan warga negara lainnya. Sebagai warga negara, meskipun diduga atau terbukti melakukan kejahatan, bukan berarti dia kehilangan hak-hak dasar yang dimilikinya sebagai manusia maupun sebagai warga negara.Pengakuan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam peradilan militermasih sangat lemah.Bahkan dalam beberapa pasal UU No. 31 Tahun 1997 tentangperadilan militer malah secara tegas membatasi hak-hak tersebut.[3]
Praktek penyelenggaran peradilan militer di Indonesia juga terlihat mengarah pada pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan rasa keadilan publik, serta cenderung tertutup dari kontrol publik.Ketidakadilan dan ketertutupan tersebut juga melanda aspek-aspek lain dalam sistem peradilan militer, terutama dalam penggunaan mekanisme koneksitas dan eksistensi Dewan Kehormatan militer/Dewan Kehormatan Perwira.Dengan demikian harus dilakukan perubahan terhadap mekanisme hukum yang berlaku di tubuh militer.
Di tataran makro, reformasi peradilan militer juga sudah merupakan amanat nasional yang tertuang dalam Tap MPR No.VII Tahun 2007 tentang Peran dan Tugas TNI/Polri dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.Agenda reformasi keamanan yang termanifestasikan dalam aturan-aturan perundang-undangan di atas secara tegas telah menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer juga memiliki banyak kelemahan sehingga semakin memperkuat signifikansi revisi terhadapnya.Selain persoalan-persoalan yang sudah dipaparkan di atas, penempatan aturan mengenai hukum acara Pidana militer semestinya tidak disatukan dalam UU tentang peradilan militer. Demikian juga berkaitan dengan telah adanya aturan mengenai Tata Usaha Negara melalui UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, maka tidak semestinya peradilan militer memiliki yurisdiksi tersendiri/khusus terhadap tata usaha militer.
Berdasarkan pengalaman sejarah, amanat reformasi serta perkembangan dan perbandingan internasional, Undang-Undang peradilan militer yang baru harus memenuhi prinsip-prinsip dasar tertentu.Prinsip-prinsip dasar yang menyangkut soal yurisdiksi, transparansi, akuntabilitas, pembatasan kewenangan serta posisi dalam struktur kekuasaan kehakiman tersebut sudah sepantasnya mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, dengan tetap mempertahankan wibawaperadilan militer sebagai mekanisme kontrol internal TNI.
RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer yang sedang dibahas oleh DPR saat ini, apabila kita kaji dengan mengacu pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, masih banyak memiliki kekurangan. RUU RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer hanya melakukan perubahan-perubahan minor dan redaksional terhadap UU No. 31 Tahun 1997peradilan militer, seperti perubahan istilah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan perubahan dari “penasehat hukum” menjadi “advokat”. Masukan-masukan serta kritik yang sudah dikemukakan terhadap RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentangperadilan militer ini mengarah pada perlunya perubahan yang mendasar terhadap sistem peradilan militer di Indonesia.[4]
Dari segi organisasional serta operasional peradilan militer, ada dua persoalan pokok yaitu kedudukan peradilan militer dalam kekuasaan kehakiman yang berimplikasi pada pengaruh komando dalam hal ini Mabes TNI dalam peradilan militer, serta mekanisme beracara dalam peradilan militer yang disebabkan dari permasalahan organisasional peradilan militer.Oleh karena itu salah satu poin penting dalam perubahan ini adalah memindahkan Babinkum dan organisasi peradilan militerdi bawah Departemen Pertahanan, serta mempertegas kedudukan peradilan militer di tingkat kasasi (di Mahkamah Agung) sebagai institusi sipil.Dengan demikian seluruh hakim yang ada di dalam MA, termasuk Hakim Agung militer harus lah berstatus sipil.
Sumber Hukum Acara Peradilan Militer

1.    Sumber Hukum Materiil[5]
Sumber Hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum, dan terdiri atas:
a.       Perasaan hukum seseorang atau pendapat umum
b.      Agama
c.       Kebiasaan, dan
d.      Politik Hukum dari Pemerintah
           
Sumber hukum materiil yaitu tempat materi hukum itu diambil.Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.
2.         Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku.
Sumber Hukum Formil antara lain:
a.       Undang-Undang (Statue)
Undang-Undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.
b.      Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang terus dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan  dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum.
c.       Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
Peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia Belanda dahulu adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat A.B. (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia).
d.      Traktat (Treaty)
Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (konsensus) tentang sesuatu hal maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian.Akibat dari perjanjian itu adalah kedua belah pihak terikat pada isi dari perjanjian yang disepakatinya.
e.      Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.Dalam Yurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.

Asas Hukum acara Peradilan Militer

asas-asas dalam peradilan militer diantaranya;[6]
- asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan umum.
- asas keseimbangan antara doelmatigheid dengan rechtsmatigheid
- asas kesatuan komando (unity of command dan hirarkhi)
- asas komandan bertanggung jawab penuh terhadap baik buruknya kesatuan yang dipimpin
- asas pertanggungjawaban mutlak
- asas komandan tidak boleh membiarkan bawahannya melakukan pelanggaran
- asas mendidik
- asas kesederhanaan
- asas cepat
- asas perwira sebagai penyerah perkara.



[1]Bimo Adiwicaksono,”hukum acara peradilan militer”, dalam http:// bimoa diwicaksono. blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]Arian Nurifqhi,”sumber hukum Indonesia”, dalam http://rian-rifqhy.blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.
[6]Sadia Dwi ratmaja,”peradilan militer”, dalam http:// dwiratmajajusticia blogspot com. blogspot.com, diakses 5 Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar